Monday, January 20, 2014

SEJARAH MUARALEMBU


BAB X
SEJARAH MUARALEMBU

Sebelum bernama Muaralembu, wilayah ini memiliki beberapa nama yaitu berawal dari nama Koto Tuo kemudian berganti menjadi Koto Muaro Simpang kemudian berganti lagi menjadi Koto Ronah Tanjung Bungo (Sebagai Ibu kota / Tanah Kojan / Tanah Kerajaan).
 Berawal pada sekitar tahun 1454 M, yaitu semenjak kedatangan rombongan AWALUDIN Datuk Batuah yang berasal dari Minangkabau ke Rantau Singingi dengan menempuh jalur menyelusuri sungai Kuantan untuk selanjutnya ke Bukit Padang Terbakar kemudian turun ke Singingi dan bertemu dengan sebuah sungai yang pada saat itu belum memiliki nama (sekarang dinamai sungai Lembu Keruh dan sungai Gelawan) dan terus menyelusurinya kearah hilir hingga kemuaranya dan disitu mereka menemukan sungai yang lebih besar kemudian mereka singgah untuk beristirahat. Melihat daerah tersebut memiliki dataran yang luas, tanahnya subur dan baik untuk dijadikan perkampungan, maka mereka bersepakat untuk menjadikan tempat tesebut sebagai tempat permukiman atau tempat tinggal, dan kemudian perkampungan ini dinamakan dengan “KOTO TUO”.
Kemudian sekitar tahun 1510 M, datang pula rombongan DATUAK MHD. ALI gelar Datuk Jalo Sutan dari Malaya (Malaysia) dan mereka ini juga merupakan keturunan dari Minangkabau, rombongannya ini masuk ke Rantau Singingi melalui jalur sungai dari muara sungai  Kampar  dan kemudian masuk ke sungai Singingi.  Singkat cerita akhirnya DATUAK MHD. ALI gelar Datuk Jalo Sutan dan rombongannya kembali menjelajahi sungai Singingi sebelah kiri arah kehulu dan akhirnya sampailah mereka ke Koto Tuo dan bertemu dengan AWALUDIN Datuk Batuah. Dalam percakapan dipertemuan itu AWALUDIN Datuk Batuah bertanya kepada itu MHD. ALI Datuk Jalo Suto tentang apa maksud dan kedatangannya ke Koto Tuo, Kemudian itu MHD. ALI Datuk Jalo Suto pun menjelaskan maksud dan kedatangannya adalah mencari daerah tempat tinggal untuk permukiman dan tempat berusaha yang belum dikuasai oleh orang lain. Mendengar penjelasan dari MHD. ALI Datuk Jalo Suto itu akhirnya AWALUDIN Datuk Batuah pun menyampaikan bahwa daerah tersebut adalah merupakan Concang Lotih beliau, Tanah yang berketelengan dan Air yang berkecucuran ke Sungai Lembu ini adalah wilayah dalam kekuasaannya. Setelah sekian lama berdebat dan kemudian merekapun bermusyawarah dan akhirnya merekapun bersefakat untuk bersatu dan bersama-sama menjaga dan melindungai daerah yang telah meraka kuasai. Kemudian mereka berdua pun berjanji bahwasanya MHD. ALI Datuk Jalo Suto menganggap dan mengakui AWALUDIN Datuk Batuah sebagai mamaknya (pamannya) dan begitu juga sebaliknya AWALUDIN Datuk Batuah menganggap dan mengakui MHD. ALI Datuk Jalo Suto sebagai kemenakannya. Dan dengan adanya persatuan ini akhirnya MHD. ALI Datuk Jalo Suto  pun tinggal dan menetap di Koto Tuo. Setelah bersatunya  AWALUDIN Datuk Batuah dan MHD. ALI Datuk Jalo Suto, tentu membuat Koto Tuo semakin ramai dan sesak, hingga akhirnya bermusyawarahlah dan bermufakatlah mereka untuk memperluas daerah Koto Tuo ini hingga ke muara sungai Uyan. Dengan diperluasnya daerah Koto Tuo ini maka merekapun bersepakat untuk mengganti nama daerah tersebut dari Koto Tuo menjadi “KOTO MUARO SIMPANG” yang berarti Sungai Duo Basimpang.
Dan sekitar tahun 1522 M, setelah mendapat restu dan izin dari Raja Pagaruyung untuk memisahkan diri secara teritorial dan pemerintahan dari kekuasaan Raja Gunung Sahilan, kemudian sealanjutnya Datuak Nan Sembilan mengadakan pertemuan dan perundingan untuk segera membentuk Pemerintahan Adat di Rantau Singingi. Dan untuk memudahkan kedepannya melakukan perundingan-perundingan serta diperlukannya ibukota pemerintahan adat, maka sangat diperlukan suatu lokasi atau tempat yang mudah dijangkau, akhirnya SYAFI’I Datuk Bandaro ke – 3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan pun mencari yang tepat untuk maksud tersebut diatas. Dan akhirnya mereka sepakat  lokasi atau tempat tersebut adalah diseberang Koto Muaro Simpang didalam wilayah Datuk Bandaro yang kemudian diberi nama “KOTO RONAH TANJUNG BUNGO”.
Bermula di  “KOTO RONAH TANJUNG BUNGO”  inilah Datuk Nan Sembilan mulai menyusun Pemerintahan Adat Rantau Singingi.  Setelah terbentuknya Koto Ronah Tanjung Bungo yang dijadikan pusat pemerintahan, selanjutnya mereka menyusun koto-koto dari muara sampai ke hulu sungai Singingi, baik yang sudah ditempati maupun yang akan ditempati. Dan koto-koto itu adalah :
1.         Koto Ronah Tanjung Bungo (Sebagai Ibu kota / Tanah Kojan / Tanah Kerajaan) (sekarang Kelurahan Muaralembu),
2.         Kepalo Koto (sekarang desa Pulau Padang),
3.         Iku Koto (Ekor Koto) (Sekarang desa Kebun Lado),
4.         Kunci Loyang Pasak Malintang (sekarang  desa Petai),
5.         Balai Paranginan (sekarang desa Koto Baru),
6.         Pinggan Ome  (sekarang desa Sungai Paku),
7.         Lantak Tunggal Bomban Bosi, (sekarang desa Tanjung Pauh).
8.         Pucuk Rantau, (sekarang desa Pangkalan Indarung).
Setelah tersusunnya koto-koto di Rantau Singingi ini dan berpisahnya teritorial dan pemerintahan Rantau Singingi dari Kerajaan Gunung Sahilan, disaat itulah kemudian lahir istilah “SUBAYANG BAGULUNG HILIR BARAJO KA GUNUNG SAHILAN, SINGINGI BAGULUNG MUDIAK BAMAMAK KATANAH KOJAN (TANAH KERAJAAN), BERAJA KE PAGARUYUNG”. Dan kemudian mulailah sebagian masyarakat yang tinggal dikoto-koto lama yang sudah ada pindah dan tinggal menetap dikoto-koto yang baru terbentuk tersebut.
Kemudian selanjutnya mereka menyusun pimpinan pemerintahan serta merumuskan tugas dan fungsinya masing-masing. Karena di Rantau Singingi ini  ada dua suku utama yaitu PILIANG NAN LIMO dan MELAYU NAN OMPEK, maka ditunjuklah masing-masing satu orang sebagai PUCUK PIMPINAN dari kedua suku tersebut.
Setelah terbentuk dan tersusunnya pemerintahan adat Rantau Singingi yaitu pemerintahan adat yang bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah dibawah kekuasaan Raja Pagaruyung, dan demi meningkatakan pelaksanaan pemerintahan yang baik karena luasnya daerah kekuasaan yang dikuasai oleh Raja Pagaruyung, dan seperti kata pepatah “Rantau jauah nan tidak tajalang, daerah dokek nan indak takanono”, siring perjalan waktu, maka pada tahun 1605 M Raja Pagaruyung menyerahkan kekuasaan pemerintahan adat Rantau Singingi kepada Datuk Nan Baduo, dimana :
1.         “WAKIL PUTUS” diberikan kepada DATUK BANDARO (yang pada  masa itu dijabat oleh SYAFI'I Datuk Bandaro 3) sebagai “RAJA ADAT DAN RAJA DIDARAT”, dan sebagai PUCUK PIMPINAN Pemerintahan Adat Rantau Singingi dan kepadanya juga diberikan gelar DATUK KHALIFAH dan merangkap sebagai ORANG GODANG yang berwenang memimpin dibidang Adat dan Pemerintahan serta memimpin dan menguasai semua yang ada didarat.
2.         “AMANAH SUDAH” diberikan kepada DATUK JALO SUTAN sebagai “RAJA IBADAT DAN RAJA DIRANTAU” dan juga sebagai ORANG GODANG yang berwenang memimpin dibidang Ibadat serta memimpin dan menguasai semua yang ada disungai dan dirantau.
Beriringan dengan pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintahan adat Rantau Singingi dari Raja Pagaruyung kepada Datuk Nan Baduo, kemudian selanjutnya Datuk Nan Baduo, Datuk Nan Batujuh dan juga Orang Godang Duo Sakoto yang ada di Rantau Singingi bersefakat untuk melakukan penggantian nama Koto Ronah Tanjung Bungo (Tanah Kojan / Tanah Kerajaan) menjadi “MUARALEMBU” dan juga terhadap koto-koto yang ada di Rantau Singingi yaitu :
1.      Kapalo Koto berganti nama menjadi Pulau Padang,
2.      Iku Koto berganti nama menjadi Kebun Lado,
3.      Koto Kunci Loyang Pasak Malintang berganti nama menjadi Petai,
4.      Koto Balai Paranginan berganti nama menjadi Koto Baru,
5.      Koto Pinggan Ome berganti nama menjadi Sungai Paku,
6.      Koto Lantak Tunggal Bomban Bosi / Sungai nopan berganti nama menjadi Tanjung 
        Pauh,
7.      Koto Pucuak Rantau / Pulau Potai berganti nama menjadi Pangkalan Indarung.




No comments:

Post a Comment