BAB IX
MASUKNYA BELANDA KE RANTAU SINGINGI DAN BERGANTINYA NAMA
KOTO RAMBAHAN MENJADI LOGAS (LOGAM EMAS)
A.
MASUKNYA BELANDA DAN
PENGUASAANYA DI RANTAU
SINGINGI
Setelah semakin berkembangnya
keberadaan penduduk dan wilayah di kawasan Rantau Singingi, pada Januari tahun
1905 M akhirnya Belanda pun memasuki kawasan Rantau Singingi, yang mana
sebelumnya pihak Belanda terlebih dahulu telah menguasai wilayah Gunung Sahilan
dan merekapun beranggapan bahwasanya Rantau Singingi tersebut termasuk dalam
wilayah kekuasaan kerajaan Gunung Sahilan. Kedatangan Belanda ke Rantau Singingi
tentu tidak dengan serta merta, hal ini berawal dari berita yang dibawa oleh
orang-orang yang telah menelusuri dan menjelajahi sungai Singingi dan sungai
Subayang hingga ke Gunung Sahilan, bahwa dikawasan
Rantau Singingi tersebut terdapat kandungan emas dan batu bara yang berlimpah sehingga membuat Belanda sangat tertarik dan berkeinginan untuk
menguasai wilayah tersebut. Setelah berhasil memasuki wilayah Rantau Singingi
kemudian Belanda melakukan penelitian terhadap kandungan emas dan batu bara
yang ada di Rantau Singingi, dan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
kandungan emas dan batu bara di Rantau Singingi memang sangat banyak dan
merekapun sangat berambisi untuk segera menguasai wilayah Rantau Singingi.
Setelah mengetahui bahwasanya
wilayah Rantau Singingi merupakan suatu wilayah yang berdiri sendiri secara
pemerintahan adat dan terpisah dari kerajaan Gunung Sahilan, akhirnya untuk memuluskan rencananya tersebut,
Belanda pun menemui Datuk Nan Baduo
yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar
Datuk Bandaro ke - 12 (Datuk Khalifah Ke
10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan
selaku pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi pada saat itu dan mengajak
berunding untuk memusyawarahkan pengelolaan kawasan Rantau Singingi terutama
emas dan batu bara. Tetapi perundingan untuk pengelolaan pertambangan tersebut
terkendala oleh pengakuan Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil dari Kerajaan
Gunung Sahilan, yang mana pada tahun 1899 Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil
menyatakan kepada pihak pemerintah Belanda bahwa seluruh wilayah Rantau
Singingi (termasuk Luhak Logas) dan Ulu Teso adalah dibawah kekuasaan kerajaan
Gunung Sahilan dan telah mengeluarkan konsesi penambangan pada tanggal 1
Desember 1899 untuk seluruh wilayah tersebut.
Terkendala oleh permasalahan
tersebut, kemudian pada tanggal 27 Februari 1905 pihak Belanda memanggil dan
mengumpulkan seluruh Datuk dan pemangku adat yang ada di wilayah Gunung Sahilan dan Dependesinya (Rantau
Kampar Kiri dan Loehak Sibayang, Singingi, Logas dan Ulu Teso) berkumpul di
Bengkalis untuk membuat, menyetujui dan menandatangani pernyataan (GOENOENG
SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN VERKLARING) yang berisi :
Pertama : Bahwa daerah Gunung Sahilan adalah bagian dari
Hindia Belanda dan oleh karena itu di bawah kekuasaan Belanda.
Kedua : Bahwa kita senantiasa akan setia kepada Yang
Mulia Ratu Belanda dan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda
sebagai Perwakilan Tinggi.
Ketiga : Bahwa kita harus mematuhi dan mempertahankan
semua pengaturan yang akan dimenangkan atas lansekap Gunung Sahilan oleh dan
atas nama Pemerintah atau perwakilannya. Penduduk Pesisir Timur Sumatra, dan
umumnya akan mengikuti semua pesanan yang diteruskan kepada kami oleh atau atas
nama perwakilan-perwakilan tersebut.
Mereka
para Datuk dan pemangku adat yang hadir untuk membuat, menyetujui dan
menandatangai pernyataan tersebut adalah :
· Abdul
Djalil Jamtoean Besar dan Abdul Rahman Jamtoen Muda dari Gunung Sahilan.
· Amad
gelar Datuk Besar, Senen gelar Datuk Godang, Taajoet gelar Penghulu Muda dan Ma
Seh gelar Paduka Sindo dari Gunung Sahilan.
· Niko
gelar Datuk Bijo dari Jawi-jawi.
· Djalal
gelar Datuk Sinjaya dari Bintuli.
· Karong
gelar Datuk Pengulu Besar dari Melinjan, Gombak gelar Datuk Singo, Talang gelar
Datuk Majolelo, Tawar Gelar Datuk Mahajo dan Tangkar Gelar Datuk Godang dari Lipat
Kain.
· Gamak
gelar Datuk Majo Indo dari Lubuk Cimpur.
· Soekhoe
gelar Datuk Bandaro, Adam gelar Datuk Besar dan Batin gelar Datuk Sutan
Majolelo dari Kuntu.
· Ingas
Gelar Datuk Molik dan Maalat Gelar Datuk Sati dari Padang Sawah.
· Hoekoem
Gelar Datuk Sinyato dan Labu Gelar Datuk Dubalang Tagan dari Domo.
· Sudan
gelar Datuk Bandaro dari Ujung Bukit.
· Dahim
gelar Datuk Godang Djo Melawan dan Bakar perwakilan hukum Datuk Singo dari Tanjung
Belit.
·
Moenkin
gelar Datuk Godang dari Sanggan.
·
Hakim
gelar Datuk Caniago dari Aur Kuning.
· Saptoe
gelar Datuk Majo Besar dan Mahir perwakilan hukum Datuk Tan Majolelo
dari Ludai.
·
Daki
Perwakilan hukum Datuk Paduko Besar dari Koto Lamo.
· Djala
gelar Datuk Majo Indo dan Ganti perwakilan hukum Datuk Marajo dari Pangkalan
Kapas.
· Boekoe
gelar Datuk Temenggung dan Pantan gelar Datuk Jelo Sutan dari Tanjung
Pauh.
· Oesoef
Perwakilan hukum dari Datuk Payung Putih dan Longgak gelar Datuk Maruhum dari Pulau
Potai.
· Saluk
Kalai gelar Datuk Bandaro Itam, Sutan Menanti gelar Datuk Temenggung dan Taib
gelar Datuk Bandaro Rajo dari Koto Baru.
· Gelar
Datuk Bandaro Kayo dari Petai.
· Djaana
gelar Datuk Jalo Sutan, Taib / H. Muthalib gelar Datuk Bandaro dari Muaralembu,
· Ma-Oesoep
gelar Datuk Bandaro Kali, Rapah gelar Datuk Sinaro nan Putih, Nain gelar Datuk
Sinyato, Moengkin gelar Datuk Besar, dan
Awal gelar Datuk Mangkuto Sinaro dari Muaralembu.
· Doeahab
Gelar Datuk Tan Penghulu dan Iboen Gelar Datuk Bandaro dari Pangkalan
Indarung.
· Ma
Salih gelar Datuk Godang dan Kadik gelar Datuk Temenggung dari Logas.
· Hadjat
gelar Datuk Jurum dari Parit Jawo Tanah Darat.
· Bonang
Gelar Datuk Mohammad dari Pangkalan Beringin (Ulu Teso),
· Toendo
Gelar Datuk Bandaro Mudo dan Taali gelar Datuk Bandara (yang sebelumnya dari
Kuntu) dari Langung (Batang Galawan).
Penandatanganan
pernyataan tersebut dilakukan di Bengkalis pada tanggal 27 Februari 1905, dihadapan
perwakilan pihak Belanda yaitu VAN
VELTHUYSEN selaku Asisten Residen Bengkalis dan I. L. BRIEN selaku Pengendali untuk wilayah Kampar Kiri.
Setelah beberapa
saat terlaksananya penandatanganan pernyataan (GOENOENG SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN
VERKLARING) ini akhirnya Datuk
Nan Baduo yaitu Muhammad Taib
(Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (Datuk
Khalifah Ke 10) dan DJANA gelar
Datuk Jalo Sutan selaku pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi
menyadari bahwasanya secara administrasi wilayah Rantau Singingi masih berada
dibawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, dan oleh karena itu kemudian mereka
menyampaikan dan mengajukan kepada pihak Belanda supaya mengakui wilayah Rantau
Singingi merupakan wilayah yang terpisah dari kerajaan Gunung Sahilan baik
secara pemerintahan maupun secara administrasi.
Dan sesuai
dengan Undang-Undang Pemerintah Belanda
bahwasanya Bentang alam yang berada di bawah Undang-Undang Pemerintah Belanda tanggal
5 Mei 1906, sub-divisi sementara Kampar Kiri dari departemen Bengkalis di
daerah pantai Timur Sumatra, adalah terdiri dari :
1. Gunung Sahilan (Rantau Kampar Kiri dan
Loehak Sibayang).
2. Singingi.
3. Logas.
4. Ulu Tesso.
Dan menjelaskan bahwa Pimpinan adat
diwilayah Singingi, Logas dan Ulu Tesso tidak dapat dianggap sebagai pelayan
dari Jamtoean Besar di Gunung Sahilan, tetapi adalah sebagai pimpinan yang
berdiri sendiri untuk wilayahnya masing-masing.
Berdasarkan Undang-Undang
Pemerintah Belanda ini jugalah kemudian pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan
dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 akhirnya Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA
gelar Datuk Jalo Sutan kembali dipanggil pemerintah Belanda untuk menghadap
Asisten Residen Bengkalis
dan membuat serta menandatangani pernyataan (SINGINGI VERKLARING)
yang berisi :
Pertama : Bahwa lansekap Singingi merupakan bagian dari
Hindia Belanda dan karena itu berdiri di bawah dominasi Belanda, bahwa kita
akan selalu setia kepada Yang Mulia Ratu Belanda dan kepada Yang Mulia Gubernur
Jenderal sebagai Perwakilan Tinggi yang
ditangannya kami terima pengelolaan lanskap Singingi.
Kedua : Bahwa kita tidak akan melakukan kontak dengan
kekuatan asing dalam hubungan politik apapun, musuh-musuh Belanda adalah
musuh-musuh kita, teman-teman dari Belanda juga teman-teman kita.
Ketiga : Bahwa
kita akan mematuhi dan menegakkan semua peraturan yang telah atau akan
dinyatakan berlaku atau berlaku untuk lansekap Singingi atau atas nama Ratu
Belanda atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda atau wakilnya dan bahwa kita
secara umum akan mengikuti semua perintah yang diberikan oleh dan atas nama
Gubernur-Jenderal atau wakilnya.
Penandatanganan
pernyataan tersebut dilakukan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan
dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 dihadapan Pemerintah Belanda yaitu H. F.
Hesselaar selaku Asisten Residen Bengkalis.
Dan pada tahun 1906
Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil dari Kerajaan Gunung Sahilan pergi ke tanah
suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah, dan posisinya kemudian
digantikan sementara oleh adiknya yaitu Dipertuan Muda Sultan Abdulrachman. Dan
pada tanggal 29 Mei 1907 itu juga, yaitu tidak lama berselang setelah
penandatanganan SINGINGI VERKLARING atas desakan dari DATUK NAN BADUO Rantau Singingi dan pemerintah Belanda akhirnya Dipertuan
Muda Sultan Abdulrachman mengeluarkan sebuah pernyataan singkat yang membuat
geger seluruh masyarakat Gunung Sahilan. Pernyataan tersebut adalah pengakuan
terhadap SINGINGI VERKLARING yaitu pengakuan terhadap kekuasaan DATUK NAN BADUO Rantau Singingi Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk
Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10)
dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan, disamping
itu juga pengakuan terhadap Urang Godang Luhak
Logas yaitu Oesin Gelar Datuk Godang
dan pimpinan di Ulu Tesso yaitu Si Ampang Gelar Datuk Raja Roehoem.
Untuk mendukung dan
menguatkan pernyataan (SINGINGI VERKLARING) ini kemudian
pada hari Senin tanggal 22 Juli 1907, bertepatan dengan tanggal 11 Jumadil
Akhir 1325, pemerintah Belanda melalui J.
G. Larive selaku inspektur Kampar Kiri, mengundang seluruh Datuk/Penghulu
atau Pemangku Adat yang ada di wilayah Rantau Singingi hadir ke Gunung Sahilan
untuk didengarkan pendapat dan pernyataannya (PROSES VERBAL) tentang SINGINGI
VERKLARING yang ditandatangani oleh Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA
gelar Datuk Jalo Sutan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan
dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325. Mereka yang diundang dan menghadiri PROSES
VERBAL tersebut adalah :
1. Ma-Oesoep – Datuk Bandaro Kali, Nain –
Datuk Sinyato, Mungkin – Datuk Besar, Rapah – Datuk Sinaro Nan Putih, Kamidin –
Datuk Tan Majo Garang, Si’ap – Datuk Simajo Lelo, Awal – Datuk Mangkuto Sinaro (Penghulu
dari Negeri Muaralembu).
2. Djoenoe – Datuk Sutan Penghulu, Iboen – Datuk
Bandaro, Batah – Datuk Sinyato, Badoe
Salam – Datuk Lelo Mangkuto, Djaana – Datuk Rajo Melayu (Penghulu dari Negeri Pangkalan
Indarung).
3. Ma-ahim – Datuk Sati, Dihim – Datuk
Bandaro Kayo, Haroem – Datuk Bandaro Mudo, Ma-arim – Datuk Senego (Penghulu
dari Negeri Petai).
4. Sama – Datuk Bandaro Hitam, Soetan
Menanti – Datuk Temenggung, Medan – Datuk Bandaro Rajo, Anggoeng – Datuk
Sinyato, Mengantar – Datuk Bandaro Sutan (Penghulu dari Negeri koro Baru).
5. Dani – Datuk Payung Putih, Longgak –
Datuk Maruhum, Tjongar – Datuk Melintang Kampar, Intan Silih – Datuk Laksamano (Penghulu
dari Negeri Pulau Potai).
6. Bakoe – Datuk Temenggung, Doeanni – Datuk
Jelo Sutan, Sa-Ilah – Datuk Bandaro, Tikat – Datuk Bandaro Sati, Djohan – Datuk
Putih, Ma-Imam – Datuk Putih (Penghulu dari Negeri Tanjung Pauh).
Dan Semua
Datuk/Penghulu atau Pemangku Adat yang hadir tersebut menyampaikan bahwa mereka
telah mengetahui dan memahaminya dan menyatakan
setuju dengan SINGINGI VERKLARING yang ditandatangani oleh Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk
Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10)
dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan di
Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325
tersebut.
Kemudian pada tanggal 11 Juli
1909 pemerintah Belanda menyetujui, meratifikasi, mengakui dan mengesahkan
sebanyak 18 deklarasi dan salah satunya adalah SINGINGI VERKLARING, dan terhitung
semenjak disetujuinya penyataan tersebut pihak Belanda juga mengangkat Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk
Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10)
dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan
sebagai zelfbestuurder
(yang berarti pemerintahan sendiri dan bukan bupati tetapi memiliki aturan
yang nyata seperti sultan) untuk wilayah Rantau Singingi, dan pihak Belanda
hanya bertugas untuk mengontrol pertahanan dan kontak dengan asing.
Dan
Dalam Keputusan
Pemerintah Belanda yang sama, juga dijelaskan bahwa wilayah Ulu Tesso
dipisahkan dari pembagian sementara Kampar Kiri dalam kaitannya dengan
kepentingan bersama dengan Tanah Darat (Kuantan) dan bergabung dengan subdivisi
sementara Kuantan dari departemen Indragiri .
Setelah disetujuinya SINGINGI
VERKLARING kemudian pihak pemerintah Belanda kembali melanjutkan
perundingan tentang pengelolaan penambangan emas dan batu bara dengan DATUK NAN BADUO yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk
Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10)
dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan yang
juga merupakan sebagai zelfbestuurder di Rantau Singingi. Dan dalam perundingan tersebut
disepakati bahwa pengelolaan penambangan emas sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat
Rantau singingi dibawah kendali DATUK
NAN BADUO selaku
zelfbestuurder dan pihak Belanda
hanya bertugas untuk mengontrol keamanan, pertahanan dan kontak dengan pihak asing,
dan atas jasanya tersebut pihak Belanda berhak menerima 10 % sebagai Belasting
atau pajak (Pancung Alas) dari hasil penambangan tersebut. Belasting atau pajak
(Pancung Alas) tersebut dipungut oleh masing-masing penghulu atau orang godang
disetiap Koto, Luhak dan Negeri yang kemudian dikumpulkan kepada Datuk Nan
Baduo, dan Datuk Nan Baduo selanjutnya menyerahkan kepada Pihak Belanda.
Dan untuk
diketahui, bahwasanya Muhammad Taib
(Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12
(DATUK KHALIFAH Ke 10) adalah satu dari dua Orang Godang Datuk Nan Baduo
Rantau Singingi, beliau tercatat memerintah Rantau Singingi dari tahun 1876 –
1917. Kemudian Sejak tanggal 9 Agustus 1914 hingga tahun 1917 beliau hanya memimpin
Rantau Singingi dengan seorang diri (karena kosongnya jabatan Datuk Jalo
Sutan). Tahun 1917 turun tahta karena sakit dan sudah sangat tua. Meninggal
dunia di Muaralembu - Singingi pada tanggal 24 Desember 1918. Kemudian
digantikan oleh Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11). Memerintah Rantau
Singingi dari tahun 1917 – 1947, (tetapi
pihak Belanda baru mengakui kepemimpinannya pada tanggal 2 Desember 1918).
Pada tanggal 14 Februari 1919 beliau menandatangani kontrak dengan pemerintah
Belanda mewakili pribumi dari Sumatra Timur - divisi Bengkalis. Pada tahun 1920 (dalam Surat
Kabar De Sumatra Post, 12 Februari 1920) Beliau juga atas nama zelfbestuurder dari
Singingi bersama Tengku Soeloeng zelfbestuurder
dari Kampar Kiri beserta Wan Abdul Rachman Bupati Pekanbaru menyambut
kedatangan Gubernur Jendral Hindia Belanda di bandara Pekanbaru. Beliau meninggal
dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1947.
Djana
Gelar Datuk Jalo Sutan adalah
satu dari dua Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi, beliau tercatat
memerintah Rantau Singingi dari tahun 1898 – 1912. Turun tahta karena sudah tua
serta sakit dan meninggal dunia tahun 1912. Kemudian digantikan oleh Aman Gelar Datuk Jalo Sutan dan memerintah
Rantau Singingi dari tahun 1912 – 1914. Pada tanggal 9 Agustus 1914 beliau
digulingkan oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai pembangkang dan
kemudian tidak boleh ada penggantinya (hingga tahun 1942).
B. BERGANTINYA NAMA KOTO RAMBAHAN MENJADI LOGAS (LOGAM EMAS)
Setelah berlakunya SINGINGI
VERKLARING dan tercapainya kesepakatan tentang pengelolaan penambangan Logam
Emas yang dipusatkan di Koto Rambahan dan penambangan batu bara yang dipusatkan
di Tangko – Tasam, pihak Belanda semakin berambisi untuk meningkatkan produksi
pertambangan tersebut terutama pertambangan Logas Emas yang ada di koto
Rambahan karena daerah ini memiliki cadangan emas yang sangat banyak. Tersebab
karena hal itulah akhirnya pada sekitar tahun 1910 pihak Belanda mengganti nama
Koto Rambahan menjadi Luhak Logas (Logam Emas).
Pada tahun 1927 Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13
(DATUK KHALIFAH Ke 11) sebagai satu-satunya Orang Godang Datuk Nan Baduo
Rantau Singingi pada saat itu memerintahkan kepada seluruh penghulu atau orang godang disetiap Koto, Luhak dan Negeri
yang ada di Rantau Singingi untuk memungut dan mengumpulkan Belasting atau
pajak (Pancung Alas) untuk selanjutnya diserahkan kepada pihak Belanda. Sampai
pada batas waktu yang ditentukan seluruh penghulu atau orang godang disetiap
Koto, Luhak dan Negeri telah mengumpulkan Belasting atau pajak (Pancung Alas)
tersebut kepada Muhammad Sirih
gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) kecuali Datuk Godang dari koto Rambahan / Luhak
Logas. Mendapatkan hal seperti itu Muhammad
Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) sangat marah
dan murka karena ketidakpatuhan Datuk Godang tersebut yang juga berakibat tidak
baik kepada masyarakat koto Rambahan / Luhak Logas karena didalam perjanjian
dengan Pihak Belanda disepakati bahwa apabila Datuk Nan Baduo selaku zelfbestuurder
Rantau Singingi tidak menyerahkan Belasting atau pajak (Pancung Alas) kepada
pihak Belanda maka sebagai gantinya adalah masyarakat yang bersangkutan (dalam
hal ini adalah masyarakat koto Rambahan / Luhak Logas) harus mengikuti RODI
(kerja paksa yang selalu dijaga oleh militer Belanda).
Menyadari
kesalahannya dan takut kemurkaan dari Muhammad Sirih gelar
Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke
11), akhirnya Datuk Godang dari
koto Rambahan / Logas melarikan diri ke Hulu Sungai Lembu dan meninggalkan
anak, cucu, kemanakan dan masyarakatnya dan tidak pernah kembali lagi.
Setelah ditinggalkan lari
oleh Datuk Godang mengakibatkan koto Rambahan / Luhak Logas kehilangan pemimpin. Untuk
menyikapi hal tersebut akhirnya Muhammad
Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) mengangkat
seorang pemimpin baru yang bernama JORI
dan diberi gelar Sutan Khalifah untuk menggantikan Datuk godang tersebut. JORI
gelar Sutan Khalifah ini memerintah
Luhak Logas sampai tahun 1945, dan beliau adalah satu-satunya pemimpin Luhak
Logas yang bergelar Sutan Khalifah,
dan setelah Indonesia merdeka beliau juga diangkat sebagai kepala desa pertama
di Luhak Logas yang kemudian berganti menjadi Negeri (Nagari) atau Desa Logas.
Seiring perjalanan waktu, dan atas pesetujuan bersama kemudian gelar Datuk
Godang kembali di lekatkan kepada cucu kemenakannya dan untuk selanjutnya Datuk
Godang tersebut kembali menjadi Orang Godang duo sakoto di desa Logas – Rantau
Singingi.