Monday, January 20, 2014

PESTA GULUNG RANTAU (PESTA PEMBANTAIAN / PEMOTONGAN KERBAU SILENGGANG TANDUAK)


BAB V
PESTA GULUNG RANTAU (PESTA PEMBANTAIAN / PEMOTONGAN  KERBAU SILENGGANG TANDUAK)

A. BAGULUANG MUDIAK, BADONDAN HILIR DAN PEMBANTAIAN KERBAU SILENGGANG TANDUAK.

Dengan telah terbentuk dan tersusunnya Pemangku Adat atau Pemerintahan di Rantau Singingi, selanjutnya mereka berkeinginan untuk segera melaksanakan peresmian dan pelantikan Pemangku Adat atau Pemerintahan di Rantau Singingi yang sudah terbentuk ini. Kemudian mereka kembali mengadakan musyawarah untuk menentukan nama, waktu dan tempat pelaksanaan acara tersebut. Setelah mengadakan musyawarah akhirnya mereka mengambil kata mufakat bahwasanya acara tersbut dinamakan “Pesta Gulung Rantau” yang akan dilaksanakan di “Koto Tanah Kojan” (Tanah Kerajaan) dan akan dihadiri oleh Datuk Nan Baduo, Datuk Nan Batujuh, Orang Godang Duo Sakoto, Penghulu, Monti, Dubalang dan seluruh masyarakat Rantau Singingi.
Setelah matangnya perencanaan “Pesta Gulung Rantau” ini, kemudian SYAFI’I Datuk Bandaro ke – 3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan memerintahkan hulubalang kerjaan yaitu Sutan Larangan dan Palindi Panjang untuk mencari kerbau yang akan dipotong pada acara tersebut ke Pagaruyung. Setelah mendapat perintah tersebut, kemudian berangkatlah mereka berdua ke Pagaruyung. Dan setelah mencari-cari akhirnya mereka melihat seekor kerbau seperti yang diinginkan, setelah bertemu dengan pemiliknya dan melakukan tawar menawar akhirnya mereka sepakat untuk jual beli dan kemudian dilakukanlah pembayaran. Sebelum mereka berangkat kembali ke Rantau Singingi, pemilik kerbau ini mengatakan bahwa kerbau ini bernama  Silenggang Lembu yang akan melenggang menyusuri sebuah sungai hingga ke muara. Kemudian merekapun berangkat kembali menuju ke Ronah Tanjung Bungo / Koto Tanah Kerajaan.
Dalam perjalanan pulang ini mereka melewati Bukit Padang Terbakar kemudian turun kehulu sungai Lembu, setelah memasuki sungai Lembu, mulailah kerbau ini melenggang-lenggang dan mengamuk. Setelah sekian lama diperjalanan, akhirnya merekapun sampai di Koto Ronah Tanjung Bungo / Koto Tanah Kerajaan dan terus ke Pulau Gelanggang (Gelanggang Semua Datuk) dan pada saat itu kerbau tersebut sudah mempunyai tanduk yang sangat panjang (yaitu satu depa sebelah), dan disinilah kemudian kerbau tersebut diserahkan kepada Dubalang Sutan Kerajaan (Tan Kojan) dan Dubalang Kerajaan Putih (Jan Putih) yang selanjutnya diserahkan pula kepada Datuk Nan Batujuh.
Setelah mendengarkan semua penjelasan dan cerita yang dismpaikan oleh Sutan Larangan dan Palindi Panjang tentang nama kerbau tersbut dan bagaimanan kisah perjalanan mereka pulang kembali ke Tanah Kerajaan, maka akhir mereka sepakat mengganti nama kerbau tersebut dari “Silenggang Lembu” menjadi “Silenggang Tanduk”, yang akan “Melenggangkan Undang Dengan Syarak dan Melenggangkan Adat Jo Pakaian” dalam wilayah Rantau Singingi.
Setelah kedatangan Silenggang Tanduk di Tanah Kerajaan, selanjutnya para Datuk Nan Baduo dan Datuk Nan Batujuh kembali bermusyawarah, dan mereka sepakat untuk segera melaksanakan pesta “GULUNG RANTAU” atau pembantaian kerbau Silenggang Tanduk yang akan dihadiri oleh seluruh pemangku adat dan masyarakat Rantau Singingi dengan agenda “Pengangkatan Datuk Nan Batujuh, Orang Godang Duo Sakoto dan Penghulu, serta Penyampaian hasil keputusan Musyawarah Datuk Nan Baduo dengan Datuk Nan Batujuh tentang Pelaksanaan Pemerintahan adat Ranrau Singingi”.
Dan akhirnya pada tahun 1565 M dibawah pimpinan SYAFI’I Datuk Bandaro ke – 3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan dikumpulkanlah seluruh Datuk Nan Batujuh, Syekh Akhmad Bunda, Orang Godang Duo Sakoto dan Penghulu di Rumah Dalam (Istana) Koto Ronah Tanjung Bungo / Koto Tanah Kerajaan, dan para Monti, Dubalang serta masyarakat berkumpul di Pulau Gelanggang, namun karena koto-koto yang ada di Rantau Singingi ini letaknya berjauhan, ada dihilir dan ada dihulu, maka dilakukanlah suatu prosesi perjalanan menuju Tanah Kerajaan tersebut.
Bagi koto-koto yang berada dibagian hilir Tanah Kerajaan, mulai dari Lantak Tunggal Bomban Bosi (Tanjung Pauh), Pinggan Ome (Sungai Paku), Balai Paranginan (Koto Baru) dan Kunci Loyang Pasak Malintang (Petai) yang juga disebut dengan Ompek Koto Dihilir bergerak menuju Tanah Kerajaan, masing-masing dengan penggunakan “Piau Kajang” (Perahu Kajang) untuk membawa para Pemangku Adat dan alat-alat keseniannya serta kemudian keempat koto tersebut terlebih dahulu berkumpul di Kunci Loyang Pasak Malintang (Petai) dibawah pimpinan Datuk Sati yang juga selaku pemegang Kunci Loyang Pasak Malintang. Setelah Kunci Loyang Pasak Malintang dibuka oleh Datuk Sati secara berombongan dibawah pimpinan Datuk Sati berangkatlah mereka menuju Pulau Gelanggang di Tanah Kerajaan. Dan perjalanan rombongan Ompek Koto Dihilir inilah kemudian disebut dengan “Baguluang Mudiak”.
Dan begitu juga bagi koto-koto yang berada dibagian hulu Tanah Kerajaan, Koto Pulau Potai / Pucuk Rantau (Pangkalan Indarung) dibawah pimpinan Datuk Bandaro Urang Godang Duo Sakoto pun menuju kehilir dengan menggunakan “Piau Kajang” (Perahu Kajang) untuk membawa para Pemangku Adat dan alat-alat keseniannya menuju Tanah Kerajaan. Namun terlebih dahulu mereka singgah di Kepalo Koto (Pulau Padang) dan bergabung dengan rombongan Datuk Bandaro Kali. Dan kemudian dengan masing-masing menggunakan “Piau Kajang” (Perahu Kajang), secara berombongan dibawah pimpinan Datuk Bandaro Kali berangkatlah mereka menuju Koto Ronah Tanjung Bungo (Tanah Kerajaan). Dan perjalanan rombongan dari hulu inilah kemudian disebut dengan “Badondan Hilir”. Kemudian dengan kejadian perjalanan dari dua rombongan dari hilir dan hulu inilah kemudian lahir istilah  “Bagulung Mudiak, Badondan Hilir”.
Setelah kedua rombongan dari hilir dan dari hulu ini sampai di Tepian Pantai di Tanah Kerajaan, mereka disambut oleh Dubalang Sutan Kerajaan (Tan Kojan) dan Dubalang Kerajaan Putih   (Jan Putih) dengan “Silat Menjalang Mamak” dan juga oleh Datuk Majo  (Datuk Dirumah Rajo) dan kemudian mendapingi dan mengantarkan para Orang Godang Duo Sakoto dan para Penghulunya untuk menemui Datuk Nan Baduo di Rumah Dalam (Istana).
Setelah semua Pemangku Adat berkumpul di Rumah Dalam (Istana), kemudian masing-masing Orang Godang Duo Sakoto memberikan laopran umum kepada Datuk Nan Baduo tentang situasi dan kondisi dikotonya masing-masing, dan selanjutnya mereka bermohon diri kepada Datuk Nan Baduo untuk diberikan petunjuk dan arahan tentang bagaimana memimpin dan membina anak, cucu dan kemenakannya  sehingga bisa menjadikan mereka  sebagai masyarakat adat yang bersendikan syarak dan syarak bersandikan kitabullah.
Setelah Datuk Nan Baduo memberikan petunjuk dan arahannya, kemudian mereka segera memulai Pelaksanaan Acara Peresmian dan Pelantikan Pemerintahan Adat Rantau Singingi, namun terlebih dahulu mereka melaksanakan pembantaian (pemotongan) kerbau Silenggang Tanduak yang dipimpin oleh Syekh Ahmad Bunda di Tepian Pantai - Tanah Kerajaan yang diiringi dengan pencak silat dan kesenian Gondang Ogung serta hiburan lainnya.
  
B. PERESMIAN PEMERINTAHAN DAN PEMBACAAN SUMPAH JABATAN SELURUH       PEMANGKU ADAT RANTAU SINGINGI

Setelah selesainya acara pembantaian (pemotongan) kerbau Silenggang Tanduak di Tepian Pantai, kemudian seluruh Pemangku Adat yaitu, Datuk Nan Baduo, Datuk Nan Batujuh, Orang Godang Duo Sakoto , Datuk Raja Banding dan Penghulu berkumpul di Pulau Gelanggang untuk pelaksanaan acara Pelantikan dan Pembacaan Sumpah Jabatan bagi seluruh Pemangku adat Rantau Singingi yang dipimpin langsung oleh Datuk Nan Baduo dan dibimbing oleh Syekh Ahmad Bunda. Berikut Sumpah dan Janji Datuk Nan Tigo Puluh Rantau Singingi :
1.    Bertaqwa kepada Allah SWT tuhan Yang Maha Esa.
2.   Menjaga amanah dari Allah SWT dan Rasulnya serta amanah dari Datuk Nan Baduo sebagai pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi.
3.  Senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan, yaitu, Baibu ke Lantak Tunggal Bomban Bosi, babapak ke Pucuk Rantau Pulau Potai, bamamak ke Tanah Kojan. (Yang berarti Setiap Penghulu Nan Tigo Puluh di Rantau Singingi  ini Bamamak ke Datuk Nan Batujuh dan Barajo ke Datuk Nan Baduo, dan Datuk Nan Batujuh Bamamak ke Datuk Nan Baduo dan Berajo ke Pagaruyung, Serta Datuk Nan Baduo bamamak ke Pagaruyung berajo ke Musyawarah dan Mufakat).
4. Membina masyarakat yang berdasarkan adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah.
5.  Menjalankan semua hasil keputusan yang telah disepakati dari hasil musyawarah mufakat.
6.  Jika Datuk Nan Baduo meniadakan Datuk Nan Batujuh atau Datuk Nan Batujuh meniadakan Datuk Nan Baduo, maka akan dimakan sumpah beribu kalo (yaitu : “Ka’ate indak bapucuak, kabawah indak baurek ditongah digiriak kumbang”. Karena Hubungan antara Datuk Nan Baduo dengan Datuk Nan Batujuh tak ubahnya seperti nyawa dan badan, Datuk Nan Baduo sebagai Nyawa dan Datuk Nan Batujuh sebagai Badan).
Kemudian selanjutnya merekapun bersepakat untuk senatiasa melaksanakan acara “Pesta Gulung Rantau” ini sekali dalam setiap lima tahun. Setelah itu  dilanjutkan dengan acara terakhir yaitu pembacaan doa selamat yang dipimpin oleh Syekh Ahmad Bunda.

C.   WEWENANG DAN TUGAS DATUK NAN BADUO (PEMERINTAHAN ADAT RANTAU
      SINGINGI)

Sebagaimana seperti yang telah dititahkan dan dimandatkan oleh Raja Pagaruyung, maka Datuk Nan Baduo mempunyai wewenang, fungsi dan tugas masing-masing. Datuk Bandaro wewenangnya adalah sebagai “Raja Adat dan Raja Didarat” dan berfungsi sebagai pemimpin adat dan pemerintahan serta menguasai semua yang ada didarat. Sedangkan Datuk Jalo Sutan wewenangnya adalah sebagai “Raja Ibadat dan Raja Dirantau” dan berfungsi sebagai pemimpin dibidang ibadat serta menguasai semua yang ada disungai dan dirantau.

D.  TANAH ULAYAT, PEMBAGIAN DAN PENGATURAN PENGELOLAANNYA.

1.   PEMBAGIAN TANAH ULAYAT
Dalam pemerintahan adat Rantau Singingi terdapat dua pembagian utama tentang wilayah dan tanah ulayat, yaitu wilayah dan tanah ulayat DATUK BANDARO dan wilayah dan tanah ulayat DATUK JALO SUTAN. Pembagian adalah sebagai berikut :
·    Wilayah dan Tanah Ulayat DATUK BANDARO
Yang termasuk kedalam wilayah atau tanah ulayat DATUK BANDARO adalah Sisi sebelah kanan sungai Singingi mulai dari muara sampai kehulu atau “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke sungai Singingi” dan sebagian disisi sebelah kiri sungai Singingi yaitu dari Sungai Kuang (Pulau Padang) sampai ke Sungai Jauh “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke sungai Singingi” dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara         :  1.   Muara sungai Singingi (Bukit Buluh Ampai – Khalifah Rantau Subayang / Datuk Besar).
                                        2.   Sianik Putih (Khalifah Subayang / Datuk Besar).
Sebelah Selatan  : 1. Bukit Pembantaian Kobou Tongo Duo Iku (Datuk Songgo – Lubuk Ambacang).
                                        2.   Tobek Sigadobang (Datuk Baimbo – Mudik ulo).
                                        3.   Bukit Penyabungan (Datuk Lipati – Sumpur Kudus).
Sebelah Barat         :   1.   Gunung Seru (Datuk Bandaro Candiak).
                                        2.   Hulu Sungai Subayang sebelah Kiri (Pematang Sikai)
Sebelah Timur        :  1.   Sungai Singingi dari muara sampai ke Kuang (Pulau Padang).
                                       2.   Dan setiap “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke
                                              sungai Singingi” mulai dari Sungai Kuang (Pulau Padang) sampai 
                                              ke Sungai Jauh.
·    Wilayah dan Tanah Ulayat DATUK JALO SUTAN
Yang termasuk kedalam wilayah atau tanah ulayat DATUK JALO SUTAN adalah Sisi sebelah Kiri sungai Singingi arah kehulu mulai dari muara sungai Singingi sampai Sungai Kuang (Pulau Padang) atau “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke sungai Singingi”, Kemudian disisi kiri  dan sisi kanan mulai dari muara sungai Lembu sampai kehulu “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke sungai Lembu” (yang merupakan Concang Lotih Datuk Mangkuto Sinaro), dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara       :  Muara sungai Singingi / Sungai Nopan (Datuk Besar – Gunung Sahilan).
Sebelah Selatan   :  Bukit Padang Terbakar (Datuk Bisai – Teluk Kuantan).
Sebelah Barat       :  Muara Sungai Singingi sampai Sungai Kuang – Pulau Padang (Datuk Bandaro
                                     - Rantau Singingi).
Sebelah Timur     :  Sungai Teso sampai Sungai Tingkalak Godang (Datuk Rajo Ruhum – Kuantan 
                                     Hilir).
                                   
2.  PENGATURAN PENGELOLAAN TANAH ULAYAT
Tanah Ulayat adalah merupakan karunia dari Allah tuhan Sang Pencipta dan disebut sebagai “Pusako Tinggi” dari suatu wilayah dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan anak, cucu dan kemenakan serta masyarakat.
  1. Tanah Ulayat merupakan satu kesatuan hukum dari tanah wilayah yang secara umum adalah milik semua suku (Piliang nan lima dan melayu nan ompek) dan secara khusu dibawah kekuasaan Dauk Nan Baduo. Dan tanah Koto atau nagori adalah tanah yang telah diamanahkan oleh Datuk Nan Baduo kepada Orang Godang Duo Sakoto untuk dipergunakan demi kesejahteraan anak, cucu dan kemenakan serta masyarakat.
  2. Tanah Ulayat akan tetap selamanya menjadi tanah ulayat, walau apapun jenis usaha yang ada didalamnya atau diatasnya.
  3. Tanah Ulayat tidak dapat diperjual belikan.
  4. Tanah Ulayat dapat dikelola oleh anak, cucu dan kemenakan demi kelangsungan kehidupan mereka.
  5. Dari hasil pengelolaan tanah ulayat yang dilakukan oleh anak, cucu dan kemenakan, maka wajib membayar uang “Pancuang Ale” sebesar 10% kepada Datuk Nan Baduo, yang mana 90% dari 10 % tersebut akan digunakan untuk pembangunan wilayah, sedangkan yang 10% nya diserahkan kepada Raja Pagaruyung sebagai Ome Manah, yaitu hasil dari pengelolaan hutan dan tanah yang telah di “Amanahkan” oleh Raja Pagaruyung kepada Datuk Nan Baduo, Seperti kata pepatah “Ka lawik babungo karang, Ka rimbo banbungo kayu, Baladang babungo ompiang, Manombang babungo pasir”. Hasil dari Ome Mana ini dikirim sekali dalam setahun kepada Raja Pagaruyung.

E. KEBERADAAN TANAH ULAYAT MENURUT HUKUM NEGARA REPUBLIK INDONESIA

       Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat, yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 18 B ayat (2) :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 l ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
          Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.
       Selanjutnya dalam sejarah, untuk pertama kalinya secara kongkrit, pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang agraria diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”.  Kemudian dinyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
          Pada era reformasi, perkembangan adopsi pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak ulayat antara lain tercermin dalam beberapa undang-undang di bawah ini:
1.  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dikatakatan bahwa dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2.  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.   Selanjutnya Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
3.  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Kehutanan mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) dikatakan, Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian dalam Pasal 5-nya menyatakan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Selain itu Pemerintah punya kewajiban menetapkan status hutan dan hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 6 Undang-Undang tentang Sumber Daya Air menyatakan, Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah danTahunatau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan undang-undang. Lebih lanjut dikatakan, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Perkebunan menyatakan, apabila tanah yang diperlukan untuk perkebunan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
Selain dalam undang-undang yang telah disebutkan diatas, masih banyak undang-undang yang memberikan pengakuan akan eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.   Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
2.   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
3.   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
4.   Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
5.   Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
Disamping berbagai undang-undang, perlu dicatat bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA. Peraturan Menteri ini secara eksplisit mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya. Dalam dimensi lokal penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dapat dilihat misalnya pada:
1.  Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
2.  Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 3 Tahun2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dan
3.  Perda Kabupaten Nunukan No 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.




No comments:

Post a Comment