BAB V
PESTA GULUNG RANTAU (PESTA PEMBANTAIAN / PEMOTONGAN KERBAU SILENGGANG TANDUAK)
A. BAGULUANG
MUDIAK, BADONDAN HILIR DAN PEMBANTAIAN KERBAU SILENGGANG TANDUAK.
Dengan telah terbentuk dan tersusunnya Pemangku Adat atau Pemerintahan di
Rantau Singingi, selanjutnya mereka berkeinginan untuk segera melaksanakan
peresmian dan pelantikan Pemangku Adat atau Pemerintahan di Rantau Singingi
yang sudah terbentuk ini. Kemudian mereka kembali mengadakan musyawarah untuk
menentukan nama, waktu dan tempat pelaksanaan acara tersebut. Setelah
mengadakan musyawarah akhirnya mereka mengambil kata mufakat bahwasanya acara
tersbut dinamakan “Pesta Gulung Rantau” yang akan dilaksanakan di “Koto Tanah
Kojan” (Tanah Kerajaan) dan akan dihadiri oleh Datuk Nan Baduo, Datuk Nan
Batujuh, Orang Godang Duo Sakoto, Penghulu, Monti, Dubalang dan seluruh
masyarakat Rantau Singingi.
Setelah matangnya perencanaan “Pesta Gulung Rantau” ini, kemudian SYAFI’I
Datuk Bandaro ke – 3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan memerintahkan hulubalang
kerjaan yaitu Sutan Larangan dan Palindi Panjang untuk mencari kerbau yang akan
dipotong pada acara tersebut ke Pagaruyung. Setelah mendapat perintah tersebut,
kemudian berangkatlah mereka berdua ke Pagaruyung. Dan setelah mencari-cari
akhirnya mereka melihat seekor kerbau seperti yang diinginkan, setelah bertemu
dengan pemiliknya dan melakukan tawar menawar akhirnya mereka sepakat untuk jual
beli dan kemudian dilakukanlah pembayaran. Sebelum mereka berangkat kembali ke
Rantau Singingi, pemilik kerbau ini mengatakan bahwa kerbau ini bernama “Silenggang Lembu” yang akan
melenggang menyusuri sebuah sungai hingga ke muara. Kemudian merekapun berangkat
kembali menuju ke Ronah Tanjung Bungo / Koto Tanah Kerajaan.
Dalam perjalanan pulang ini mereka melewati Bukit Padang Terbakar kemudian
turun kehulu sungai Lembu, setelah memasuki sungai Lembu, mulailah kerbau ini
melenggang-lenggang dan mengamuk. Setelah sekian lama diperjalanan, akhirnya
merekapun sampai di Koto Ronah Tanjung Bungo / Koto Tanah Kerajaan dan terus ke
Pulau Gelanggang (Gelanggang Semua Datuk) dan pada saat itu kerbau tersebut
sudah mempunyai tanduk yang sangat panjang (yaitu satu depa sebelah), dan
disinilah kemudian kerbau tersebut diserahkan kepada Dubalang Sutan Kerajaan
(Tan Kojan) dan Dubalang Kerajaan Putih (Jan Putih) yang selanjutnya diserahkan
pula kepada Datuk Nan Batujuh.
Setelah mendengarkan semua penjelasan dan cerita yang dismpaikan oleh Sutan
Larangan dan Palindi Panjang tentang nama kerbau tersbut dan bagaimanan kisah
perjalanan mereka pulang kembali ke Tanah Kerajaan, maka akhir mereka sepakat
mengganti nama kerbau tersebut dari “Silenggang
Lembu” menjadi “Silenggang Tanduk”,
yang akan “Melenggangkan Undang Dengan Syarak dan Melenggangkan Adat Jo Pakaian”
dalam wilayah Rantau Singingi.
Setelah kedatangan Silenggang Tanduk di Tanah Kerajaan, selanjutnya para Datuk
Nan Baduo dan Datuk Nan Batujuh kembali bermusyawarah, dan mereka sepakat untuk
segera melaksanakan pesta “GULUNG
RANTAU” atau pembantaian kerbau Silenggang Tanduk yang akan dihadiri oleh
seluruh pemangku adat dan masyarakat Rantau Singingi dengan agenda “Pengangkatan
Datuk Nan Batujuh, Orang Godang Duo Sakoto dan Penghulu, serta Penyampaian
hasil keputusan Musyawarah Datuk Nan Baduo dengan Datuk Nan Batujuh tentang
Pelaksanaan Pemerintahan adat Ranrau Singingi”.
Dan akhirnya pada tahun 1565 M dibawah pimpinan SYAFI’I Datuk Bandaro ke –
3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan dikumpulkanlah seluruh Datuk Nan Batujuh, Syekh
Akhmad Bunda, Orang Godang Duo Sakoto dan Penghulu di Rumah Dalam (Istana) Koto
Ronah Tanjung Bungo / Koto Tanah Kerajaan, dan para Monti, Dubalang serta
masyarakat berkumpul di Pulau Gelanggang, namun karena koto-koto yang ada di
Rantau Singingi ini letaknya berjauhan, ada dihilir dan ada dihulu, maka
dilakukanlah suatu prosesi perjalanan menuju Tanah Kerajaan tersebut.
Bagi koto-koto yang berada dibagian hilir Tanah Kerajaan, mulai dari Lantak
Tunggal Bomban Bosi (Tanjung Pauh), Pinggan Ome (Sungai Paku), Balai Paranginan
(Koto Baru) dan Kunci Loyang Pasak Malintang (Petai) yang juga disebut dengan
Ompek Koto Dihilir bergerak menuju Tanah Kerajaan, masing-masing dengan
penggunakan “Piau Kajang” (Perahu Kajang) untuk membawa para Pemangku Adat
dan alat-alat keseniannya serta kemudian keempat koto tersebut terlebih dahulu
berkumpul di Kunci Loyang Pasak Malintang (Petai) dibawah pimpinan Datuk
Sati yang juga selaku pemegang Kunci Loyang Pasak Malintang. Setelah
Kunci Loyang Pasak Malintang dibuka oleh Datuk Sati secara berombongan
dibawah pimpinan Datuk Sati berangkatlah mereka menuju Pulau Gelanggang di
Tanah Kerajaan. Dan perjalanan rombongan Ompek Koto Dihilir inilah kemudian
disebut dengan “Baguluang Mudiak”.
Dan begitu juga bagi koto-koto yang berada dibagian hulu Tanah Kerajaan,
Koto Pulau Potai / Pucuk Rantau (Pangkalan Indarung) dibawah pimpinan Datuk
Bandaro Urang Godang Duo Sakoto pun menuju kehilir dengan menggunakan “Piau
Kajang” (Perahu Kajang) untuk membawa para Pemangku Adat dan alat-alat
keseniannya menuju Tanah Kerajaan. Namun terlebih dahulu mereka singgah di
Kepalo Koto (Pulau Padang) dan bergabung dengan rombongan Datuk Bandaro Kali. Dan
kemudian dengan masing-masing menggunakan “Piau Kajang” (Perahu Kajang), secara
berombongan dibawah pimpinan Datuk Bandaro Kali berangkatlah
mereka menuju Koto Ronah Tanjung Bungo (Tanah Kerajaan). Dan perjalanan
rombongan dari hulu inilah kemudian disebut dengan “Badondan Hilir”. Kemudian dengan kejadian perjalanan dari dua rombongan dari hilir dan hulu
inilah kemudian lahir istilah “Bagulung
Mudiak, Badondan Hilir”.
Setelah kedua rombongan dari hilir dan dari hulu ini sampai di Tepian
Pantai di Tanah Kerajaan, mereka disambut oleh Dubalang Sutan Kerajaan (Tan
Kojan) dan Dubalang Kerajaan Putih (Jan
Putih) dengan “Silat Menjalang Mamak” dan juga oleh Datuk Majo (Datuk Dirumah
Rajo) dan kemudian mendapingi dan mengantarkan para Orang Godang Duo Sakoto dan
para Penghulunya untuk menemui Datuk Nan Baduo di Rumah Dalam (Istana).
Setelah semua Pemangku Adat berkumpul di Rumah Dalam (Istana), kemudian
masing-masing Orang Godang Duo Sakoto memberikan laopran umum kepada Datuk Nan
Baduo tentang situasi dan kondisi dikotonya masing-masing, dan selanjutnya mereka
bermohon diri kepada Datuk Nan Baduo untuk diberikan petunjuk dan arahan
tentang bagaimana memimpin dan membina anak, cucu dan kemenakannya sehingga bisa menjadikan mereka sebagai masyarakat adat yang bersendikan
syarak dan syarak bersandikan kitabullah.
Setelah Datuk Nan Baduo memberikan petunjuk dan arahannya, kemudian mereka
segera memulai Pelaksanaan Acara Peresmian dan Pelantikan Pemerintahan Adat
Rantau Singingi, namun terlebih dahulu mereka melaksanakan pembantaian
(pemotongan) kerbau Silenggang Tanduak yang dipimpin oleh Syekh Ahmad Bunda di
Tepian Pantai - Tanah Kerajaan yang diiringi dengan pencak silat dan kesenian
Gondang Ogung serta hiburan lainnya.
B. PERESMIAN
PEMERINTAHAN DAN PEMBACAAN SUMPAH JABATAN SELURUH PEMANGKU ADAT RANTAU SINGINGI
Setelah selesainya acara pembantaian (pemotongan) kerbau Silenggang Tanduak
di Tepian Pantai, kemudian seluruh Pemangku Adat yaitu, Datuk Nan Baduo, Datuk
Nan Batujuh, Orang Godang Duo Sakoto , Datuk Raja Banding dan Penghulu
berkumpul di Pulau Gelanggang untuk pelaksanaan acara Pelantikan dan Pembacaan
Sumpah Jabatan bagi seluruh Pemangku adat Rantau Singingi yang dipimpin
langsung oleh Datuk Nan Baduo dan dibimbing oleh
Syekh Ahmad Bunda. Berikut Sumpah dan Janji Datuk Nan Tigo Puluh Rantau
Singingi :
1. Bertaqwa
kepada Allah SWT tuhan Yang Maha Esa.
2. Menjaga
amanah dari Allah SWT dan Rasulnya serta amanah dari Datuk Nan Baduo sebagai
pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi.
3. Senantiasa
menjaga persatuan dan kesatuan, yaitu, Baibu ke Lantak Tunggal Bomban Bosi,
babapak ke Pucuk Rantau Pulau Potai, bamamak ke Tanah Kojan. (Yang berarti
Setiap Penghulu Nan Tigo Puluh di Rantau Singingi ini Bamamak ke Datuk Nan Batujuh dan Barajo
ke Datuk Nan Baduo, dan Datuk Nan Batujuh Bamamak ke Datuk Nan Baduo dan Berajo
ke Pagaruyung, Serta Datuk Nan Baduo bamamak ke Pagaruyung berajo ke Musyawarah
dan Mufakat).
4. Membina
masyarakat yang berdasarkan adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan
kitabullah.
5. Menjalankan
semua hasil keputusan yang telah disepakati dari hasil musyawarah mufakat.
6. Jika Datuk
Nan Baduo meniadakan Datuk Nan Batujuh atau Datuk Nan Batujuh meniadakan Datuk
Nan Baduo, maka akan dimakan
sumpah beribu kalo (yaitu : “Ka’ate indak bapucuak, kabawah indak baurek
ditongah digiriak kumbang”. Karena Hubungan antara Datuk Nan Baduo dengan Datuk
Nan Batujuh tak ubahnya seperti nyawa dan badan, Datuk Nan Baduo sebagai Nyawa
dan Datuk Nan Batujuh sebagai Badan).
Kemudian selanjutnya merekapun bersepakat untuk senatiasa melaksanakan
acara “Pesta Gulung Rantau” ini sekali dalam setiap lima tahun. Setelah
itu dilanjutkan dengan acara terakhir
yaitu pembacaan doa selamat yang dipimpin oleh Syekh Ahmad Bunda.
C. WEWENANG DAN TUGAS DATUK NAN BADUO (PEMERINTAHAN ADAT RANTAU
SINGINGI)
Sebagaimana seperti yang
telah dititahkan dan dimandatkan oleh Raja Pagaruyung, maka Datuk Nan Baduo
mempunyai wewenang, fungsi dan tugas masing-masing. Datuk Bandaro wewenangnya adalah sebagai “Raja Adat dan Raja Didarat” dan
berfungsi sebagai pemimpin adat dan pemerintahan serta menguasai semua yang ada
didarat. Sedangkan Datuk Jalo
Sutan wewenangnya adalah sebagai “Raja
Ibadat dan Raja Dirantau” dan berfungsi sebagai pemimpin dibidang ibadat serta
menguasai semua yang ada disungai dan dirantau.
D. TANAH ULAYAT, PEMBAGIAN DAN PENGATURAN PENGELOLAANNYA.
1. PEMBAGIAN TANAH ULAYAT
Dalam pemerintahan adat
Rantau Singingi terdapat dua pembagian utama tentang wilayah dan tanah ulayat,
yaitu wilayah dan tanah ulayat DATUK BANDARO dan wilayah dan tanah ulayat DATUK
JALO SUTAN. Pembagian adalah sebagai berikut :
· Wilayah dan Tanah Ulayat DATUK BANDARO
Yang termasuk kedalam wilayah
atau tanah ulayat DATUK BANDARO adalah Sisi sebelah kanan sungai Singingi mulai
dari muara sampai kehulu atau “Tanah yang berketelengan dan air yang
berkecucuran ke sungai Singingi” dan sebagian disisi sebelah kiri sungai
Singingi yaitu dari Sungai Kuang (Pulau Padang) sampai ke Sungai Jauh “Tanah
yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke sungai Singingi” dengan
batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : 1. Muara
sungai Singingi (Bukit Buluh Ampai – Khalifah Rantau Subayang / Datuk Besar).
2. Sianik Putih (Khalifah Subayang / Datuk
Besar).
Sebelah Selatan : 1. Bukit
Pembantaian Kobou Tongo Duo Iku (Datuk Songgo – Lubuk Ambacang).
2. Tobek Sigadobang (Datuk Baimbo – Mudik ulo).
3.
Bukit Penyabungan (Datuk Lipati – Sumpur
Kudus).
Sebelah Barat : 1. Gunung
Seru (Datuk Bandaro Candiak).
2. Hulu Sungai Subayang sebelah Kiri (Pematang
Sikai)
Sebelah Timur : 1. Sungai
Singingi dari muara sampai ke Kuang (Pulau Padang).
2.
Dan setiap “Tanah yang berketelengan dan
air yang berkecucuran ke
sungai Singingi” mulai dari Sungai Kuang (Pulau
Padang) sampai
ke Sungai Jauh.
· Wilayah dan Tanah Ulayat DATUK JALO SUTAN
Yang termasuk kedalam wilayah
atau tanah ulayat DATUK JALO SUTAN adalah Sisi sebelah Kiri sungai Singingi
arah kehulu mulai dari muara sungai Singingi sampai Sungai Kuang (Pulau Padang)
atau “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke sungai Singingi”,
Kemudian disisi kiri dan sisi kanan
mulai dari muara sungai Lembu sampai kehulu “Tanah yang berketelengan dan air
yang berkecucuran ke sungai Lembu” (yang merupakan Concang Lotih Datuk Mangkuto
Sinaro), dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Muara sungai Singingi / Sungai Nopan (Datuk
Besar – Gunung Sahilan).
Sebelah Selatan : Bukit Padang Terbakar (Datuk Bisai – Teluk
Kuantan).
Sebelah Barat : Muara Sungai Singingi sampai Sungai Kuang –
Pulau Padang (Datuk Bandaro
- Rantau Singingi).
Sebelah Timur : Sungai Teso sampai Sungai Tingkalak Godang (Datuk
Rajo Ruhum – Kuantan
Hilir).
2. PENGATURAN PENGELOLAAN TANAH ULAYAT
Tanah Ulayat adalah merupakan
karunia dari Allah tuhan Sang Pencipta dan disebut sebagai “Pusako Tinggi” dari
suatu wilayah dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan anak,
cucu dan kemenakan serta masyarakat.
- Tanah
Ulayat merupakan satu kesatuan hukum dari tanah wilayah yang secara umum
adalah milik semua suku (Piliang nan lima dan melayu nan ompek) dan secara
khusu dibawah kekuasaan Dauk Nan Baduo. Dan tanah Koto atau nagori adalah
tanah yang telah diamanahkan oleh Datuk Nan Baduo kepada Orang Godang Duo
Sakoto untuk dipergunakan demi kesejahteraan anak, cucu dan kemenakan
serta masyarakat.
- Tanah
Ulayat akan tetap selamanya menjadi tanah ulayat, walau apapun jenis usaha
yang ada didalamnya atau diatasnya.
- Tanah
Ulayat tidak dapat diperjual belikan.
- Tanah
Ulayat dapat dikelola oleh anak, cucu dan kemenakan demi kelangsungan
kehidupan mereka.
- Dari
hasil pengelolaan tanah ulayat yang dilakukan oleh anak, cucu dan
kemenakan, maka wajib membayar uang “Pancuang Ale” sebesar 10% kepada Datuk
Nan Baduo, yang mana 90% dari 10 % tersebut akan digunakan untuk
pembangunan wilayah, sedangkan yang 10% nya diserahkan kepada Raja
Pagaruyung sebagai Ome Manah, yaitu hasil dari pengelolaan hutan dan tanah
yang telah di “Amanahkan” oleh Raja Pagaruyung kepada Datuk Nan Baduo,
Seperti kata pepatah “Ka lawik babungo karang, Ka rimbo banbungo kayu,
Baladang babungo ompiang, Manombang babungo pasir”. Hasil dari Ome Mana
ini dikirim sekali dalam setahun kepada Raja Pagaruyung.
E.
KEBERADAAN TANAH
ULAYAT MENURUT HUKUM NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pada
tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang
keberadaan Masyarakat Hukum Adat, yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B
ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam
bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah
sebagai berikut:
Pasal 18 B ayat (2) :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 l ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang
Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar
1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap
pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum
Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah
tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak
lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali
dalam U.U.D 1945 amandemen II.
Selanjutnya dalam sejarah, untuk pertama
kalinya secara kongkrit, pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat
khususnya dalam bidang agraria diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam
Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu
harus sesuai dengan kesadaran hukum aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat
Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru
tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan
sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya
tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang
kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”. Kemudian
dinyatakan bahwa, Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pada era reformasi, perkembangan adopsi
pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak ulayat antara lain
tercermin dalam beberapa undang-undang di bawah ini:
1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dikatakatan bahwa dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 Ayat (3)
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya. Selanjutnya Pasal 6
menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
3. Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Kehutanan
mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3)
dikatakan, Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian dalam Pasal 5-nya
menyatakan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan
hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Selain itu Pemerintah punya
kewajiban menetapkan status hutan dan hutan adat sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
4. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 6 Undang-Undang tentang
Sumber Daya Air menyatakan, Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan oleh
Pemerintah danTahunatau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat
masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan undang-undang. Lebih
lanjut dikatakan, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air
sebagaimana tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan
dengan peraturan daerah setempat”.
5. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Perkebunan
menyatakan, apabila tanah yang diperlukan untuk perkebunan adalah tanah hak
ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului
pemberian hak pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat
pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
Selain dalam undang-undang
yang telah disebutkan diatas, masih banyak undang-undang yang memberikan
pengakuan akan eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia,
diantaranya adalah:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi;
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan;
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan;
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang
Jalan;
Disamping berbagai
undang-undang, perlu dicatat bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari
bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 UUPA. Peraturan Menteri ini secara eksplisit
mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat
berdasarkan pada keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya.
Dalam dimensi lokal penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat
dapat dilihat misalnya pada:
1. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32
Tahun2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
2. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor
3 Tahun2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dan
3. Perda Kabupaten Nunukan No 4 Tahun 2004
tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
No comments:
Post a Comment