BAB I
PENDAHULUAN
Adat Rantau Singingi adalah merupakan
aturan hidup dalam bermasyarakat yang digunakan oleh seluruh masyarakat Rantau
Singingi yang dibentuk dan disusun oleh leluhurnya yaitu Datuk Parpalik Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan melalui Datuk
Bandaro. Ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya membedakan dengan tajam
dan nyata perilaku dan perbuatan antara manusia dan hewan, yang berdasarkan
kepada ajaran-ajaran berbudi pekerti baik dan bermoral mulia antara sesama
manusia dan alam lingkungannya.
Dalam pepatah adat itu sendiri telah
mengatakan bahwa “Sawah diagiah bapamatang, Ladang dibori bamintalah, Ndak babeso
tampurung dengan sadah, Ndak babikeh minyak dengan aie”. Artinya, adat
itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perorangan maupun secara
bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan yang berdasarkan kepada budi
pekerti yang baik dan akhlak yang mulia, sehingga setiap pribadi dapat
merasakan kedalam dirinya sendiri apa yang dirasakan oleh orang lain seperti
dalam pepatah adat pun mengatakan “Bak adat bapighik kulit, Sakik dek awak sakik
dek urang, Sonang dek awak sonang dek urang, Elok dek awak katuju dek urang”.
Berbicara mengenai adat Rantau
Singingi haruslah dilihat secara menyeluruh, karena adat Rantau Singingi adalah
satu kesatuan dari keseluruhan. Walaupun pada dasarnya adat Rantau Singingi ini
terdiri dari empat jenis, namun satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan
karena teridiri dari “Adat nan babuhua mati” dan “Adat nan babuhua sentak”.
Adat nan babuhua mati adalah
merupakan hukum dasar baik tentang ketentuan-ketentuan pokok dari adat nan
diadatkan oleh nenek moyang maupun tentang aturan-aturan pelaksanaan dari yang
disebut Adat nan babuhua sentak. Adat nan babuhua mati adalah aturan-aturan
adat yang tidak bisa diubah-ubah walaupun dengan kata mufakat sekalipun, seperti
pepatah mengatakan “Tak lokang dek paneh, Tak lapuak dek hujan, Dianjak takkan layu,
Dibubuik takkan mati, Dibasuah bahabi aie, Dikiki bahabi bosi”.
Dan Adat nan babuhua sentak adalah
aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kata mufakat dari pemuka-pemuka adat
Rantau Singingi. Disetiap koto boleh diubah dan berbeda asalkan berdasarkan
kesepakatan pula, seperti pepatah mengatakan “Lain lubuak lain ikanyo, Lain
padang lain belalangnyo, Lain koto lain adatnyo”.
Dan berdasarkan pepatah adat, jelas
dinyatakan bahwa adat Rantau Singingi itu mempuyai aturan yang membedakan
antara manusia dengan hewan dalam tingkah laku dan perbuatan, maka jelaslah
bahwa adat itu dapat mengatur kehidupan manusia dari hal-hal yang kecil seperti
misalnya bagaimana seharunya cara seseorang itu duduk, berjalan, berbicara,
makan, minum, melihat, memanggil yang tua dan yang muda, yang besar dan yang
kecil dengan tetap berlandaskan kepada “Elok dek awak katuju dek urang”,
sekali-kali janganlah bertingkah atau berbuat hanya untuk mementingkan dan
kepentingan sendiri, hingga kepada masalah yang lebih besar dan luas seperti
misalnya mengatur tentang pentingnya hubungan sesama manusia, baik secara
perorangan maupun bermasyarakat dan dengan tetap berlandaskan “Elok
dek awak katuju dek urang” atau “Nan kuriak iyolah kundi, Nan merah iyolah
sago, Nan baik iyolah budi, Nan indah iyolah baso”.
Adat Rantau
Singingi juga sangat mengatur tentang pentingnya mewujudkan persatuan yang
merupakan kekuatan dan modal dalam hidup bermasyarakat. Hal ini dimulai dari
lingkungan yang kecil sampai ke lingkungan yang lebih besar dan luas. Seperti
halnya hubungan didalam sebuah keluarga, hubungan antara keluarga satu dengan
keluarga yang lain, hubungan antara kampung satu dengan kampung yang lain, atau
hubungan antara suku yang satu dengan suku yang lain. Dan apabila persatuan itu
telah terwujud sebagaimana mestinya maka seperti “Saciok bak ayam, Sadonciang bak
bosi, Sakobek bak lidi, Sarumpun bak sorai, Salubang bak tabu, Satandan bak
pisang”, tinggallah lagi bagaimana kita bisa mepergunakan kekuatan
tersebut.
Oleh karena
itu, dalam hal ini sangatlah diperlukan prinsip musyawarah untuk mencari
mufakat sehingga dapat menjadikan persatuan didalam masyarakat lebih berdaya
guna dan berhasil guna. Dengan demikian maka jelaslah bahwa sebelum agama Islam
masuk ke Rantau Singingi, aturan-aturan yang ada didalam adat Rantau Singingi
itu telah didasarkan kepada budi pekerti yang baik dan akhlak yang luhur,
saling hormat menghormati, cinta mencintai dan tolong menolong serta prinsip
dasar demokrasi yaitu musyawarah untuk mufakat. Dan berdasarkan prinsip-prinsip
inilah masyarakat Rantau Singingi dapat mencapai tujuan bersama yaitu “Bumi
sanang pada menjadi”.
Kemudian
setelah agama Islam masuk ke Rantau Singingi dan setelah masyarakatnya memeluk
agama islam, ajaran-ajaran yang terdapat dalam adat tidak pernah bertentangan
dengan ajaran-ajaran yang terkandung
dalam agama islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah, bahkan
tidak sedikit ajaran-ajaran adat itu sejalan dengan ajaran-ajaran dari agama
islam, oleh karena itu maka lahirlah suatu istilah dalam adat Rantau Singingi
itu yang berbunyi “Adat basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah”, “Syarak mangato, Adat
Mamakai”.
Dengan masuk
dan memeluk agama islamnya masyarakat Rantau Singingi adalah merupakan suatu
berkah dan rahmat dari Allah SWT, bukan hanya kepada masyarakatnya tetapi juga
terhadap adatnya, sehingga menjadikan adat Rantau Singingi semakin kuat dan
kokoh, seperti yang dikiaskan dalam pepatah adat “Rumah godang basondi batu, Kuat
rumah karono sondi, Rusak sondi rumah binaso”.
Setelah
masyarakat Rantau Singingi memeluk agama islam, dan seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan islam, selanjutnya adat Rantau Singingi memiliki lima ajaran
pokok, yaitu :
1. Kaidah yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Khaliqnya,
2. Kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia,
3. Kaidah yang mengatur tentang menjalin dan
membina persatuan,
4. Kaidah yang mengatur untuk tetap memegang
teguh prinsip musyawarah dan mufakat,
5. Kaidah yang mengatur
tentang cara untuk mencapai suatu tujuan agar tetap menggunakan keempat kaedah
tersebut diatas.
Kelima macam kaedah
atau ajaran adat tersebut diatas kemudian dihimpun dalam suatu pepatah adat
yang berbunyi “Syarak mangato, Adat mamakai, Comin nan indak kabua, Palito nan indak
padam”.
Dan selain itu ada
pula pepatah adat yang mengatakan ”Waris dari pada Nabi, Syarak Mengato, Adat memakai, Adat dipakai Limbago di tuang, Gelar diwariskan pisoko di tolong, Basurau bamasjid, Babalai bagonjong, Bajalan lurui bakato bonar, Menghukum Adil ”.
Insya Allah, dengan
selesainya penulisan buku ini semoga para pembaca yang budiman dapat menemukan
dan mengetahui lebih mendalam tentang adat Rantau Singingi yang dalam
penulisannya kami tetap berpedoman dan berdasarkan “Nan kuriak iyolah kundi, Nan merah iyolah sago,
Nan baik iyolah budi, Nan indah iyolah baso” .
No comments:
Post a Comment