Monday, January 20, 2014

RANJI DATUK BANDARO (DATUK KHALIFAH) RANTAU SINGINGI

 RANJI DATUK BANDARO / DATUK KHALIFAH
 PEMIMPIN PEMERINTAHAN ADAT RANTAU SINGINGI


1. MAKMUM.
  • Gelar Datuk Simpono Rajo Dipoco.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1424 - 1477.
  • Lahir di Sungai Tarap - Pagaruyung, Provinsi Sumatera Barat pada tahun 1376.
  • Hijrah dari Sungai Tarap ke Singingi pada tahun 1424.
  • Beliau adalah "Pa'ate Kalimantiang Panundo Kapa sosak" atau Beliau adalah orang pertama perintis Rantau Singingi.
  • Meninggal dunia di Koto Intuk - Singingi pada tahun 1484 dalam Usia 108 Tahun

2. MURAT.
  • Gelar Sutan Salinan, DATUK BANDARO 1.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1477 - 1501.
  • Lahir di Sungai Tarap - Pagaruyung, Provinsi Sumatra Barat pada tahun 1401.
  • Beliau adalah Kemenakan Kandung Datuk Simpono Rajo Dipoco.
  • Meninggal dunia di Koto Intuk - Singingi pada tahun 1516 dalam Usia 115 Tahun.

3. DAMHURI.
  • Gelar DATUK BANDARO 2.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1501 - 1515.
  • Lahir di Koto Intuk - Singingi tahun 1435.
  • Meninggal dunia di Koto Intuk - Singingi pada tahun 1548 dalam Usia 113 Tahun.

4. SYAFI'I.
  • Gelar DATUK BANDARO 3, DATUK KHALIFAH Ke 1.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1515 - 1608.
  • Lahir di Koto Intuk - Singingi tahun 1485.
  • Pada Tahun 1605 Beliau mendapatkan Titah langsung dari Raja Pagaruyung sebagai "Wakil Putuih" untuk memimpin Rantau Singingi dengan gelar Datuk Khalifah ke 1.
  • Meninggal dunia di Koto Intuk - Singingi pada tahun 1608 dalam Usia 123 Tahun.

5. HAMDANI.
  • Gelar DATUK BANDARO 4, DATUK KHALIFAH Ke 2.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1608 - 1688.
  • Lahir di Koto Intuk - Singingi tahun 1580.
  • Meninggal dunia di Koto Intuk -  Singingi pada tahun 1688 dalam Usia 108 Tahun.

6. AHDAR.
  • Gelar DATUK BANDARO 5, DATUK KHALIFAH Ke 3.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1688 - 1723.
  • Lahir di Koto Intuk - Singingi tahun 1633.
  • Meninggal dunia di Koto Intuk -  Singingi pada tahun 1723 dalam Usia 90 Tahun.

7. DARMIN.
  • Gelar DATUK BANDARO 6, DATUK KHALIFAH Ke 4.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1723 - 1751.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1670.
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1751 dalam Usia 81 Tahun.

8. SALMON.
  • Gelar DATUK BANDARO 7, DATUK KHALIFAH Ke 5.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1751 - 1778.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1701.
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1778 dalam Usia 77 Tahun.

9. MUHAMMAD SU'IB.
  • Gelar DATUK BANDARO 8, DATUK KHALIFAH Ke 6.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1778 - 1801.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1734.
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1801 dalam Usia 67 Tahun.

10. TAUFIK MURI.
  • Gelar DATUK BANDARO 9, DATUK KHALIFAH Ke 7.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1801 - 1818.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1746.
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1818 dalam Usia 72 Tahun.

11. MAZMUR.
  • Gelar DATUK BANDARO 10, DATUK KHALIFAH Ke 8.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1818 - 1842.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1781.
  • Bergelar Datuk Khalifah ke 8  dari tahun 1818 - 1841.
  • Tahun 1841 menyerahkan Pimpinan Pemerintahan Adat Rantau Singingi kepada Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori (Yang Dipertuan Gadis Nan Halus) (Tuan Gadih Pagaruyung XII). dan melepaskan gelar DATUK KHALIFAH.
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1842 dalam Usia 61 Tahun.

12. Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori.
  • Gelar Yang Dipertuan Gadis Nan Halus atau Tuan Gadih Pagaruyung XII.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1841 - 1869.
  • Beliau adalah adik kandung dari Raja Alam Minangkabau Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah, Beliau juga adalah Istri Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II. Dan Beliau adalah ibu kandung dari Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu (Tuan Gadih Pagaruyung XIII).
  • Tahun 1841, bersama Suami dan anak beserta rombongan lainnya Hijrah dari Sumpur Kudus - Sijunjung ke Muaralembu - Rantau Singingi dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Pagaruyung Ke Muaralembu dan secara otomatis menjadi Pimpinan Pemerintahan Adat Rantau Singingi.
  • Tahun 1869 beliau menyerahkan kembali Pimpinan Pemerintahan Adat Rantau Singingi kepada Abdul Rahman Datuk Bandaro 11 (Datuk Khalifah 9).
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1898.

13. ABDUL RAHMAN.
  • Gelar DATUK BANDARO 11, DATUK KHALIFAH Ke 9.
  • Masa Kekuasaan sebagai Datuk Bandaro 11 yaitu dari tahun 1842 - 1876.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1797.
  • Tahun 1869 beliau menerima kembali Pimpinan Pemerintahan Adat Rantau Singingi dari Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori (Yang Dipertuan Gadis Nan Halus atau Tuan Gadih Pagaruyung XII) dan kembali dilekatkan gelar Datuk Khalifah 9.
  • Masa Kekuasaan sebagai Datuk Khalifah ke 9 (tahun 1869 - 1876).
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1876 dalam Usia 79 Tahun.

14. M. THAIB (MUTHALIB).
  • Gelar DATUK BANDARO 12, DATUK KHALIFAH Ke 10.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1876 - 1917.
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 1845.
  • Pada tahun 1905 Belanda masuk ke Singingi.
  • Belanda memberi gelar kepada beliau "ZELFBESTUUR VAN SINGINGI" / Pemerintahan sendiri (dari tahun 1909 - 1917).
  • Pada tanggal 27 Februari 1905 beliau bersama dengan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan dan seluruh Datuk dan pemangku adat yang ada di wilayah Gunung Sahilan dan Dependesinya (Rantau Kampar Kiri dan Loehak Sibayang, Singingi, Logas dan Ulu Teso) berkumpul di Bengkalis untuk membuat, menyetujui dan menandatangani pernyataan (GOENOENG SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN VERKLARING).
  • Pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325, Beliau bersama dengan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan kembali dipanggil pemerintah Belanda untuk menghadap Asisten Residen Bengkalis dan membuat serta menandatangani pernyataan (SINGINGI VERKLARING).
  • Sejak tanggal 9 Agustus 1914 hingga tahun 1917 beliau memimpin Rantau Singingi dengan seorang diri (karena kosongnya jabatan Datuk Jalo Sutan). 
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tanggal 24 Desember 1918 dalam usia 73 Tahun.

15. MUHAMMAD SIRIH.
  • Gelar DATUK BANDARO 13, DATUK KHALIFAH Ke 11.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1917 - 1947, (tetapi pihak Belanda baru mengakui kepemimpinannya pada tanggal 2 Desember 1918)
  • Lahir di Muaralembu - Singingi tahun 
  • Pada masa penjajahan Belanda, beliau juga diberi gelar "ZELFBESTUUR VAN SINGINGI" (dari tanggal 2 Desember 1918 – 1942).
  • Pada tanggal 14 Februari 1919 beliau menandatangani kontrak dengan pemerintah Belanda mewakili pribumi dari Sumatra Timur - divisi Bengkalis.
  • Pada tahun 1920  (dalam Surat Kabar De Sumatra Post, 12 Februari 1920) Beliau juga atas nama zelfbestuurder dari Singingi bersama Tengku Soeloeng zelfbestuurder dari Kampar Kiri beserta Wan Abdul Rachman Bupati Pekanbaru menyambut kedatangan Gubernur Jendral Hindia Belanda di bandara Pekanbaru.
  • Pada masa penjajahan Jepang, gelar "ZELFBESTUUR VAN SINGINGI" diganti dengan gelar "SONCO" (dari tahun 1943 - 1945).
  • Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, oleh pemerintahan Republik Indonesia beliau juga diangkat sebagai Camat pertama untuk Kecamatan Singingi (dari tahun 1945 - 1946).
  • Pada tahun 1946, terjadi pergantian jabatan Camat untuk kecamatan Singingi dari Muhammad Sirih (Datuk Bandaro 13 / Datuk Khalifah ke 11) kepada camat baru yang bernama KAYA, dan kepada KAYA diberikan gelar "Datuk Setia Amanah" oleh Datuk Bandaro. Dan semenjak itu gelar Datuk Khalifah pun dihapuskan.
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1947.

16. MAJURI.
  • Gelar DATUK BANDARO 14.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1947 - 1973.
  • Lahir di Muaralembu, ………
  • Beliau adalah sebagai Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi
  • Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1976.

17. H. ZALIS.
  • Gelar DATUK BANDARO 15.
  • Lahir di Muaralembu, 10 Desember 1944.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 1973 - 2021.
  • Beliau adalah sebagai Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi.
  • Meninggal dunia di Muaralembu,19 September 2021

18. BENI CANDRA, S.Kom
  • Gelar DATUK BANDARO 16.
  • Lahir di Muaralembu, 1978.
  • Masa Kekuasaan yaitu dari tahun 2021 - Sekarang.
  • Beliau adalah sebagai Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi.





PENUTUP

SEJARAH MUARALEMBU


BAB X
SEJARAH MUARALEMBU

Sebelum bernama Muaralembu, wilayah ini memiliki beberapa nama yaitu berawal dari nama Koto Tuo kemudian berganti menjadi Koto Muaro Simpang kemudian berganti lagi menjadi Koto Ronah Tanjung Bungo (Sebagai Ibu kota / Tanah Kojan / Tanah Kerajaan).
 Berawal pada sekitar tahun 1454 M, yaitu semenjak kedatangan rombongan AWALUDIN Datuk Batuah yang berasal dari Minangkabau ke Rantau Singingi dengan menempuh jalur menyelusuri sungai Kuantan untuk selanjutnya ke Bukit Padang Terbakar kemudian turun ke Singingi dan bertemu dengan sebuah sungai yang pada saat itu belum memiliki nama (sekarang dinamai sungai Lembu Keruh dan sungai Gelawan) dan terus menyelusurinya kearah hilir hingga kemuaranya dan disitu mereka menemukan sungai yang lebih besar kemudian mereka singgah untuk beristirahat. Melihat daerah tersebut memiliki dataran yang luas, tanahnya subur dan baik untuk dijadikan perkampungan, maka mereka bersepakat untuk menjadikan tempat tesebut sebagai tempat permukiman atau tempat tinggal, dan kemudian perkampungan ini dinamakan dengan “KOTO TUO”.
Kemudian sekitar tahun 1510 M, datang pula rombongan DATUAK MHD. ALI gelar Datuk Jalo Sutan dari Malaya (Malaysia) dan mereka ini juga merupakan keturunan dari Minangkabau, rombongannya ini masuk ke Rantau Singingi melalui jalur sungai dari muara sungai  Kampar  dan kemudian masuk ke sungai Singingi.  Singkat cerita akhirnya DATUAK MHD. ALI gelar Datuk Jalo Sutan dan rombongannya kembali menjelajahi sungai Singingi sebelah kiri arah kehulu dan akhirnya sampailah mereka ke Koto Tuo dan bertemu dengan AWALUDIN Datuk Batuah. Dalam percakapan dipertemuan itu AWALUDIN Datuk Batuah bertanya kepada itu MHD. ALI Datuk Jalo Suto tentang apa maksud dan kedatangannya ke Koto Tuo, Kemudian itu MHD. ALI Datuk Jalo Suto pun menjelaskan maksud dan kedatangannya adalah mencari daerah tempat tinggal untuk permukiman dan tempat berusaha yang belum dikuasai oleh orang lain. Mendengar penjelasan dari MHD. ALI Datuk Jalo Suto itu akhirnya AWALUDIN Datuk Batuah pun menyampaikan bahwa daerah tersebut adalah merupakan Concang Lotih beliau, Tanah yang berketelengan dan Air yang berkecucuran ke Sungai Lembu ini adalah wilayah dalam kekuasaannya. Setelah sekian lama berdebat dan kemudian merekapun bermusyawarah dan akhirnya merekapun bersefakat untuk bersatu dan bersama-sama menjaga dan melindungai daerah yang telah meraka kuasai. Kemudian mereka berdua pun berjanji bahwasanya MHD. ALI Datuk Jalo Suto menganggap dan mengakui AWALUDIN Datuk Batuah sebagai mamaknya (pamannya) dan begitu juga sebaliknya AWALUDIN Datuk Batuah menganggap dan mengakui MHD. ALI Datuk Jalo Suto sebagai kemenakannya. Dan dengan adanya persatuan ini akhirnya MHD. ALI Datuk Jalo Suto  pun tinggal dan menetap di Koto Tuo. Setelah bersatunya  AWALUDIN Datuk Batuah dan MHD. ALI Datuk Jalo Suto, tentu membuat Koto Tuo semakin ramai dan sesak, hingga akhirnya bermusyawarahlah dan bermufakatlah mereka untuk memperluas daerah Koto Tuo ini hingga ke muara sungai Uyan. Dengan diperluasnya daerah Koto Tuo ini maka merekapun bersepakat untuk mengganti nama daerah tersebut dari Koto Tuo menjadi “KOTO MUARO SIMPANG” yang berarti Sungai Duo Basimpang.
Dan sekitar tahun 1522 M, setelah mendapat restu dan izin dari Raja Pagaruyung untuk memisahkan diri secara teritorial dan pemerintahan dari kekuasaan Raja Gunung Sahilan, kemudian sealanjutnya Datuak Nan Sembilan mengadakan pertemuan dan perundingan untuk segera membentuk Pemerintahan Adat di Rantau Singingi. Dan untuk memudahkan kedepannya melakukan perundingan-perundingan serta diperlukannya ibukota pemerintahan adat, maka sangat diperlukan suatu lokasi atau tempat yang mudah dijangkau, akhirnya SYAFI’I Datuk Bandaro ke – 3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan pun mencari yang tepat untuk maksud tersebut diatas. Dan akhirnya mereka sepakat  lokasi atau tempat tersebut adalah diseberang Koto Muaro Simpang didalam wilayah Datuk Bandaro yang kemudian diberi nama “KOTO RONAH TANJUNG BUNGO”.
Bermula di  “KOTO RONAH TANJUNG BUNGO”  inilah Datuk Nan Sembilan mulai menyusun Pemerintahan Adat Rantau Singingi.  Setelah terbentuknya Koto Ronah Tanjung Bungo yang dijadikan pusat pemerintahan, selanjutnya mereka menyusun koto-koto dari muara sampai ke hulu sungai Singingi, baik yang sudah ditempati maupun yang akan ditempati. Dan koto-koto itu adalah :
1.         Koto Ronah Tanjung Bungo (Sebagai Ibu kota / Tanah Kojan / Tanah Kerajaan) (sekarang Kelurahan Muaralembu),
2.         Kepalo Koto (sekarang desa Pulau Padang),
3.         Iku Koto (Ekor Koto) (Sekarang desa Kebun Lado),
4.         Kunci Loyang Pasak Malintang (sekarang  desa Petai),
5.         Balai Paranginan (sekarang desa Koto Baru),
6.         Pinggan Ome  (sekarang desa Sungai Paku),
7.         Lantak Tunggal Bomban Bosi, (sekarang desa Tanjung Pauh).
8.         Pucuk Rantau, (sekarang desa Pangkalan Indarung).
Setelah tersusunnya koto-koto di Rantau Singingi ini dan berpisahnya teritorial dan pemerintahan Rantau Singingi dari Kerajaan Gunung Sahilan, disaat itulah kemudian lahir istilah “SUBAYANG BAGULUNG HILIR BARAJO KA GUNUNG SAHILAN, SINGINGI BAGULUNG MUDIAK BAMAMAK KATANAH KOJAN (TANAH KERAJAAN), BERAJA KE PAGARUYUNG”. Dan kemudian mulailah sebagian masyarakat yang tinggal dikoto-koto lama yang sudah ada pindah dan tinggal menetap dikoto-koto yang baru terbentuk tersebut.
Kemudian selanjutnya mereka menyusun pimpinan pemerintahan serta merumuskan tugas dan fungsinya masing-masing. Karena di Rantau Singingi ini  ada dua suku utama yaitu PILIANG NAN LIMO dan MELAYU NAN OMPEK, maka ditunjuklah masing-masing satu orang sebagai PUCUK PIMPINAN dari kedua suku tersebut.
Setelah terbentuk dan tersusunnya pemerintahan adat Rantau Singingi yaitu pemerintahan adat yang bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah dibawah kekuasaan Raja Pagaruyung, dan demi meningkatakan pelaksanaan pemerintahan yang baik karena luasnya daerah kekuasaan yang dikuasai oleh Raja Pagaruyung, dan seperti kata pepatah “Rantau jauah nan tidak tajalang, daerah dokek nan indak takanono”, siring perjalan waktu, maka pada tahun 1605 M Raja Pagaruyung menyerahkan kekuasaan pemerintahan adat Rantau Singingi kepada Datuk Nan Baduo, dimana :
1.         “WAKIL PUTUS” diberikan kepada DATUK BANDARO (yang pada  masa itu dijabat oleh SYAFI'I Datuk Bandaro 3) sebagai “RAJA ADAT DAN RAJA DIDARAT”, dan sebagai PUCUK PIMPINAN Pemerintahan Adat Rantau Singingi dan kepadanya juga diberikan gelar DATUK KHALIFAH dan merangkap sebagai ORANG GODANG yang berwenang memimpin dibidang Adat dan Pemerintahan serta memimpin dan menguasai semua yang ada didarat.
2.         “AMANAH SUDAH” diberikan kepada DATUK JALO SUTAN sebagai “RAJA IBADAT DAN RAJA DIRANTAU” dan juga sebagai ORANG GODANG yang berwenang memimpin dibidang Ibadat serta memimpin dan menguasai semua yang ada disungai dan dirantau.
Beriringan dengan pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintahan adat Rantau Singingi dari Raja Pagaruyung kepada Datuk Nan Baduo, kemudian selanjutnya Datuk Nan Baduo, Datuk Nan Batujuh dan juga Orang Godang Duo Sakoto yang ada di Rantau Singingi bersefakat untuk melakukan penggantian nama Koto Ronah Tanjung Bungo (Tanah Kojan / Tanah Kerajaan) menjadi “MUARALEMBU” dan juga terhadap koto-koto yang ada di Rantau Singingi yaitu :
1.      Kapalo Koto berganti nama menjadi Pulau Padang,
2.      Iku Koto berganti nama menjadi Kebun Lado,
3.      Koto Kunci Loyang Pasak Malintang berganti nama menjadi Petai,
4.      Koto Balai Paranginan berganti nama menjadi Koto Baru,
5.      Koto Pinggan Ome berganti nama menjadi Sungai Paku,
6.      Koto Lantak Tunggal Bomban Bosi / Sungai nopan berganti nama menjadi Tanjung 
        Pauh,
7.      Koto Pucuak Rantau / Pulau Potai berganti nama menjadi Pangkalan Indarung.




MASUKNYA BELANDA KE RANTAU SINGINGI DAN BERGANTINYA NAMA KOTO RAMBAHAN MENJADI LOGAS (LOGAM EMAS)


BAB IX
MASUKNYA BELANDA KE RANTAU SINGINGI DAN BERGANTINYA NAMA
KOTO RAMBAHAN MENJADI LOGAS (LOGAM EMAS)

A. MASUKNYA BELANDA DAN PENGUASAANYA DI RANTAU SINGINGI

Setelah semakin berkembangnya keberadaan penduduk dan wilayah di kawasan Rantau Singingi, pada Januari tahun 1905 M akhirnya Belanda pun memasuki kawasan Rantau Singingi, yang mana sebelumnya pihak Belanda terlebih dahulu telah menguasai wilayah Gunung Sahilan dan merekapun beranggapan bahwasanya Rantau Singingi tersebut termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Gunung Sahilan. Kedatangan Belanda ke Rantau Singingi tentu tidak dengan serta merta, hal ini berawal dari berita yang dibawa oleh orang-orang yang telah menelusuri dan menjelajahi sungai Singingi dan sungai Subayang hingga ke Gunung Sahilan, bahwa dikawasan Rantau Singingi tersebut terdapat kandungan emas dan batu bara yang berlimpah sehingga membuat Belanda sangat tertarik dan berkeinginan untuk menguasai wilayah tersebut. Setelah berhasil memasuki wilayah Rantau Singingi kemudian Belanda melakukan penelitian terhadap kandungan emas dan batu bara yang ada di Rantau Singingi, dan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kandungan emas dan batu bara di Rantau Singingi memang sangat banyak dan merekapun sangat berambisi untuk segera menguasai wilayah Rantau Singingi.
Setelah mengetahui bahwasanya wilayah Rantau Singingi merupakan suatu wilayah yang berdiri sendiri secara pemerintahan adat dan terpisah dari kerajaan Gunung Sahilan,  akhirnya untuk memuluskan rencananya tersebut, Belanda pun menemui Datuk Nan Baduo yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro ke - 12 (Datuk Khalifah Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan selaku pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi pada saat itu dan mengajak berunding untuk memusyawarahkan pengelolaan kawasan Rantau Singingi terutama emas dan batu bara. Tetapi perundingan untuk pengelolaan pertambangan tersebut terkendala oleh pengakuan Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil dari Kerajaan Gunung Sahilan, yang mana pada tahun 1899 Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil menyatakan kepada pihak pemerintah Belanda bahwa seluruh wilayah Rantau Singingi (termasuk Luhak Logas) dan Ulu Teso adalah dibawah kekuasaan kerajaan Gunung Sahilan dan telah mengeluarkan konsesi penambangan pada tanggal 1 Desember 1899 untuk seluruh wilayah tersebut.
Terkendala oleh permasalahan tersebut, kemudian pada tanggal 27 Februari 1905 pihak Belanda memanggil dan mengumpulkan seluruh Datuk dan pemangku adat yang ada di wilayah Gunung Sahilan dan Dependesinya (Rantau Kampar Kiri dan Loehak Sibayang, Singingi, Logas dan Ulu Teso) berkumpul di Bengkalis untuk membuat, menyetujui dan menandatangani pernyataan (GOENOENG SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN VERKLARING) yang berisi :
Pertama :  Bahwa daerah Gunung Sahilan adalah bagian dari Hindia Belanda dan oleh karena itu di bawah kekuasaan Belanda.
Kedua      :  Bahwa kita senantiasa akan setia kepada Yang Mulia Ratu Belanda dan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai Perwakilan Tinggi.
Ketiga      :  Bahwa kita harus mematuhi dan mempertahankan semua pengaturan yang akan dimenangkan atas lansekap Gunung Sahilan oleh dan atas nama Pemerintah atau perwakilannya. Penduduk Pesisir Timur Sumatra, dan umumnya akan mengikuti semua pesanan yang diteruskan kepada kami oleh atau atas nama perwakilan-perwakilan tersebut.
Mereka para Datuk dan pemangku adat yang hadir untuk membuat, menyetujui dan menandatangai pernyataan tersebut adalah :
·        Abdul Djalil Jamtoean Besar dan Abdul Rahman Jamtoen Muda dari Gunung Sahilan.
·     Amad gelar Datuk Besar, Senen gelar Datuk Godang, Taajoet gelar Penghulu Muda dan Ma Seh gelar Paduka Sindo dari Gunung Sahilan.
·       Niko gelar Datuk Bijo dari Jawi-jawi.
·       Djalal gelar Datuk Sinjaya dari Bintuli.
·    Karong gelar Datuk Pengulu Besar dari Melinjan, Gombak gelar Datuk Singo, Talang gelar Datuk Majolelo, Tawar Gelar Datuk Mahajo dan Tangkar Gelar Datuk Godang dari Lipat Kain.
·        Gamak gelar Datuk Majo Indo dari Lubuk Cimpur.
·        Soekhoe gelar Datuk Bandaro, Adam gelar Datuk Besar dan Batin gelar Datuk Sutan 
       Majolelo dari Kuntu.
·        Ingas Gelar Datuk Molik dan Maalat Gelar Datuk Sati dari Padang Sawah.
·        Hoekoem Gelar Datuk Sinyato dan Labu Gelar Datuk Dubalang Tagan dari Domo.
·        Sudan gelar Datuk Bandaro dari Ujung Bukit.
·    Dahim gelar Datuk Godang Djo Melawan dan Bakar perwakilan hukum Datuk Singo dari Tanjung Belit.
·         Moenkin gelar Datuk Godang dari Sanggan.
·         Hakim gelar Datuk Caniago dari Aur Kuning.
·        Saptoe gelar Datuk Majo Besar dan Mahir perwakilan hukum Datuk Tan Majolelo 
       dari Ludai.
·         Daki Perwakilan hukum Datuk Paduko Besar dari Koto Lamo.
·    Djala gelar Datuk Majo Indo dan Ganti perwakilan hukum Datuk Marajo dari Pangkalan Kapas.
·        Boekoe gelar Datuk Temenggung dan Pantan gelar Datuk Jelo Sutan dari Tanjung Pauh.
·       Oesoef Perwakilan hukum dari Datuk Payung Putih dan Longgak gelar Datuk Maruhum dari Pulau Potai.
·       Saluk Kalai gelar Datuk Bandaro Itam, Sutan Menanti gelar Datuk Temenggung dan Taib 
       gelar Datuk Bandaro Rajo dari Koto Baru. 
·       Gelar Datuk Bandaro Kayo dari Petai.
·       Djaana gelar Datuk Jalo Sutan, Taib / H. Muthalib gelar Datuk Bandaro dari Muaralembu,
·      Ma-Oesoep gelar Datuk Bandaro Kali, Rapah gelar Datuk Sinaro nan Putih, Nain gelar Datuk Sinyato, Moengkin gelar Datuk Besar,  dan Awal gelar Datuk Mangkuto Sinaro dari Muaralembu.
·  Doeahab Gelar Datuk Tan Penghulu dan Iboen Gelar Datuk Bandaro dari Pangkalan Indarung.
·       Ma Salih gelar Datuk Godang dan Kadik gelar Datuk Temenggung dari Logas.
·       Hadjat gelar Datuk Jurum dari Parit Jawo Tanah Darat.
·       Bonang Gelar Datuk Mohammad dari Pangkalan Beringin (Ulu Teso),
·    Toendo Gelar Datuk Bandaro Mudo dan Taali gelar Datuk Bandara (yang sebelumnya dari Kuntu) dari Langung (Batang Galawan).
Penandatanganan pernyataan tersebut dilakukan di Bengkalis pada tanggal 27 Februari 1905, dihadapan perwakilan pihak Belanda yaitu VAN VELTHUYSEN selaku Asisten Residen Bengkalis dan I. L. BRIEN selaku Pengendali untuk wilayah Kampar Kiri.
Setelah beberapa saat terlaksananya penandatanganan pernyataan (GOENOENG SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN VERKLARING) ini akhirnya Datuk Nan Baduo yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (Datuk Khalifah Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan selaku pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi menyadari bahwasanya secara administrasi wilayah Rantau Singingi masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, dan oleh karena itu kemudian mereka menyampaikan dan mengajukan kepada pihak Belanda supaya mengakui wilayah Rantau Singingi merupakan wilayah yang terpisah dari kerajaan Gunung Sahilan baik secara pemerintahan maupun secara administrasi.
Dan sesuai dengan  Undang-Undang Pemerintah Belanda bahwasanya Bentang alam yang berada di bawah Undang-Undang Pemerintah Belanda tanggal 5 Mei 1906, sub-divisi sementara Kampar Kiri dari departemen Bengkalis di daerah pantai Timur Sumatra, adalah terdiri dari :
1.      Gunung Sahilan (Rantau Kampar Kiri dan Loehak Sibayang).
2.      Singingi.
3.      Logas.
4.      Ulu Tesso.
Dan menjelaskan bahwa Pimpinan adat diwilayah Singingi, Logas dan Ulu Tesso tidak dapat dianggap sebagai pelayan dari Jamtoean Besar di Gunung Sahilan, tetapi adalah sebagai pimpinan yang berdiri sendiri untuk wilayahnya masing-masing.
Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Belanda ini jugalah kemudian pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 akhirnya Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan kembali dipanggil pemerintah Belanda untuk menghadap Asisten Residen Bengkalis dan membuat serta menandatangani pernyataan (SINGINGI VERKLARING) yang berisi :
Pertama : Bahwa lansekap Singingi merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berdiri di bawah dominasi Belanda, bahwa kita akan selalu setia kepada Yang Mulia Ratu Belanda dan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal sebagai Perwakilan Tinggi yang  ditangannya kami terima pengelolaan lanskap Singingi.
Kedua      : Bahwa kita tidak akan melakukan kontak dengan kekuatan asing dalam hubungan politik apapun, musuh-musuh Belanda adalah musuh-musuh kita, teman-teman dari Belanda juga teman-teman kita.
Ketiga      : Bahwa kita akan mematuhi dan menegakkan semua peraturan yang telah atau akan dinyatakan berlaku atau berlaku untuk lansekap Singingi atau atas nama Ratu Belanda atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda atau wakilnya dan bahwa kita secara umum akan mengikuti semua perintah yang diberikan oleh dan atas nama Gubernur-Jenderal atau wakilnya.
Penandatanganan pernyataan tersebut dilakukan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 dihadapan Pemerintah Belanda yaitu  H. F. Hesselaar selaku Asisten Residen Bengkalis.
Dan pada tahun 1906 Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil dari Kerajaan Gunung Sahilan pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah, dan posisinya kemudian digantikan sementara oleh adiknya yaitu Dipertuan Muda Sultan Abdulrachman. Dan pada tanggal 29 Mei 1907 itu juga, yaitu tidak lama berselang setelah penandatanganan SINGINGI VERKLARING atas desakan dari DATUK NAN BADUO Rantau Singingi dan pemerintah Belanda akhirnya Dipertuan Muda Sultan Abdulrachman mengeluarkan sebuah pernyataan singkat yang membuat geger seluruh masyarakat Gunung Sahilan. Pernyataan tersebut adalah pengakuan terhadap SINGINGI VERKLARING yaitu pengakuan terhadap kekuasaan DATUK NAN BADUO Rantau Singingi Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan, disamping itu juga pengakuan terhadap Urang Godang Luhak Logas yaitu Oesin Gelar Datuk Godang dan pimpinan di Ulu Tesso yaitu Si Ampang Gelar Datuk Raja Roehoem.
Untuk mendukung dan menguatkan pernyataan (SINGINGI VERKLARING) ini kemudian pada hari Senin tanggal 22 Juli 1907, bertepatan dengan tanggal 11 Jumadil Akhir 1325, pemerintah Belanda melalui J. G. Larive selaku inspektur Kampar Kiri, mengundang seluruh Datuk/Penghulu atau Pemangku Adat yang ada di wilayah Rantau Singingi hadir ke Gunung Sahilan untuk didengarkan pendapat dan pernyataannya (PROSES VERBAL) tentang SINGINGI VERKLARING yang ditandatangani oleh Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325. Mereka yang diundang dan menghadiri PROSES VERBAL tersebut adalah :
1.   Ma-Oesoep – Datuk Bandaro Kali, Nain – Datuk Sinyato, Mungkin – Datuk Besar, Rapah – Datuk Sinaro Nan Putih, Kamidin – Datuk Tan Majo Garang, Si’ap – Datuk Simajo Lelo, Awal – Datuk Mangkuto Sinaro (Penghulu dari Negeri Muaralembu).
2.  Djoenoe – Datuk Sutan Penghulu, Iboen – Datuk Bandaro, Batah –  Datuk Sinyato, Badoe Salam – Datuk Lelo Mangkuto, Djaana – Datuk Rajo Melayu (Penghulu dari Negeri Pangkalan Indarung).
3.   Ma-ahim – Datuk Sati, Dihim – Datuk Bandaro Kayo, Haroem – Datuk Bandaro Mudo, Ma-arim – Datuk Senego (Penghulu dari Negeri Petai).
4.    Sama – Datuk Bandaro Hitam, Soetan Menanti – Datuk Temenggung, Medan – Datuk Bandaro Rajo, Anggoeng – Datuk Sinyato, Mengantar – Datuk Bandaro Sutan (Penghulu dari Negeri koro Baru).
5.    Dani – Datuk Payung Putih, Longgak – Datuk Maruhum, Tjongar – Datuk Melintang Kampar, Intan Silih – Datuk Laksamano (Penghulu dari Negeri Pulau Potai).
6.   Bakoe – Datuk Temenggung, Doeanni – Datuk Jelo Sutan, Sa-Ilah – Datuk Bandaro, Tikat – Datuk Bandaro Sati, Djohan – Datuk Putih, Ma-Imam – Datuk Putih (Penghulu dari Negeri Tanjung Pauh).
Dan Semua Datuk/Penghulu atau Pemangku Adat yang hadir tersebut menyampaikan bahwa mereka telah mengetahui dan memahaminya dan  menyatakan setuju dengan SINGINGI VERKLARING yang ditandatangani oleh Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 tersebut.
Kemudian pada tanggal 11 Juli 1909 pemerintah Belanda menyetujui, meratifikasi, mengakui dan mengesahkan sebanyak 18 deklarasi dan salah satunya adalah SINGINGI VERKLARING, dan terhitung semenjak disetujuinya penyataan tersebut pihak Belanda juga mengangkat Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan sebagai zelfbestuurder (yang berarti pemerintahan sendiri dan bukan bupati tetapi memiliki aturan yang nyata seperti sultan) untuk wilayah Rantau Singingi, dan pihak Belanda hanya bertugas untuk mengontrol pertahanan dan kontak dengan asing.
Dan Dalam Keputusan Pemerintah Belanda yang sama, juga dijelaskan bahwa wilayah Ulu Tesso dipisahkan dari pembagian sementara Kampar Kiri dalam kaitannya dengan kepentingan bersama dengan Tanah Darat (Kuantan) dan bergabung dengan subdivisi sementara Kuantan dari departemen Indragiri .
Setelah disetujuinya SINGINGI VERKLARING kemudian pihak pemerintah Belanda kembali melanjutkan perundingan tentang pengelolaan penambangan emas dan batu bara dengan DATUK NAN BADUO yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan yang juga merupakan sebagai zelfbestuurder di Rantau Singingi. Dan dalam perundingan tersebut disepakati bahwa pengelolaan penambangan emas sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Rantau singingi dibawah kendali DATUK NAN BADUO selaku zelfbestuurder dan pihak Belanda hanya bertugas untuk mengontrol keamanan, pertahanan dan kontak dengan pihak asing, dan atas jasanya tersebut pihak Belanda berhak menerima 10 % sebagai Belasting atau pajak (Pancung Alas) dari hasil penambangan tersebut. Belasting atau pajak (Pancung Alas) tersebut dipungut oleh masing-masing penghulu atau orang godang disetiap Koto, Luhak dan Negeri yang kemudian dikumpulkan kepada Datuk Nan Baduo, dan Datuk Nan Baduo selanjutnya menyerahkan kepada Pihak Belanda.
Dan untuk diketahui, bahwasanya Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) adalah satu dari dua Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi, beliau tercatat memerintah Rantau Singingi dari tahun 1876 – 1917. Kemudian Sejak tanggal 9 Agustus 1914 hingga tahun 1917 beliau hanya memimpin Rantau Singingi dengan seorang diri (karena kosongnya jabatan Datuk Jalo Sutan). Tahun 1917 turun tahta karena sakit dan sudah sangat tua. Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tanggal 24 Desember 1918. Kemudian digantikan oleh Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11). Memerintah Rantau Singingi dari tahun 1917 – 1947, (tetapi pihak Belanda baru mengakui kepemimpinannya pada tanggal 2 Desember 1918). Pada tanggal 14 Februari 1919 beliau menandatangani kontrak dengan pemerintah Belanda mewakili pribumi dari Sumatra Timur - divisi Bengkalis.  Pada tahun 1920  (dalam Surat Kabar De Sumatra Post, 12 Februari 1920) Beliau juga atas nama zelfbestuurder dari Singingi bersama Tengku Soeloeng zelfbestuurder dari Kampar Kiri beserta Wan Abdul Rachman Bupati Pekanbaru menyambut kedatangan Gubernur Jendral Hindia Belanda di bandara Pekanbaru. Beliau meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tahun 1947.
Djana Gelar Datuk Jalo Sutan adalah satu dari dua Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi, beliau tercatat memerintah Rantau Singingi dari tahun 1898 – 1912. Turun tahta karena sudah tua serta sakit dan meninggal dunia tahun 1912. Kemudian digantikan oleh Aman Gelar Datuk Jalo Sutan dan memerintah Rantau Singingi dari tahun 1912 – 1914. Pada tanggal 9 Agustus 1914 beliau digulingkan oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai pembangkang dan kemudian tidak boleh ada penggantinya (hingga tahun 1942).

B. BERGANTINYA NAMA KOTO RAMBAHAN MENJADI LOGAS (LOGAM EMAS)

Setelah berlakunya SINGINGI VERKLARING dan tercapainya kesepakatan tentang pengelolaan penambangan Logam Emas yang dipusatkan di Koto Rambahan dan penambangan batu bara yang dipusatkan di Tangko – Tasam, pihak Belanda semakin berambisi untuk meningkatkan produksi pertambangan tersebut terutama pertambangan Logas Emas yang ada di koto Rambahan karena daerah ini memiliki cadangan emas yang sangat banyak. Tersebab karena hal itulah akhirnya pada sekitar tahun 1910 pihak Belanda mengganti nama Koto Rambahan menjadi Luhak Logas (Logam Emas).
Pada tahun 1927 Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) sebagai satu-satunya Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi pada saat itu memerintahkan kepada seluruh penghulu atau orang godang disetiap Koto, Luhak dan Negeri yang ada di Rantau Singingi untuk memungut dan mengumpulkan Belasting atau pajak (Pancung Alas) untuk selanjutnya diserahkan kepada pihak Belanda. Sampai pada batas waktu yang ditentukan seluruh penghulu atau orang godang disetiap Koto, Luhak dan Negeri telah mengumpulkan Belasting atau pajak (Pancung Alas) tersebut kepada Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) kecuali Datuk Godang dari koto Rambahan / Luhak Logas. Mendapatkan hal seperti itu Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) sangat marah dan murka karena ketidakpatuhan Datuk Godang tersebut yang juga berakibat tidak baik kepada masyarakat koto Rambahan / Luhak Logas karena didalam perjanjian dengan Pihak Belanda disepakati bahwa apabila Datuk Nan Baduo selaku  zelfbestuurder Rantau Singingi tidak menyerahkan Belasting atau pajak (Pancung Alas) kepada pihak Belanda maka sebagai gantinya adalah masyarakat yang bersangkutan (dalam hal ini adalah masyarakat koto Rambahan / Luhak Logas) harus mengikuti RODI (kerja paksa yang selalu dijaga oleh militer Belanda).
Menyadari kesalahannya dan takut kemurkaan dari Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11), akhirnya Datuk Godang dari koto Rambahan / Logas melarikan diri ke Hulu Sungai Lembu dan meninggalkan anak, cucu, kemanakan dan masyarakatnya dan tidak pernah kembali lagi.
Setelah ditinggalkan lari oleh Datuk Godang mengakibatkan koto Rambahan / Luhak Logas kehilangan pemimpin. Untuk menyikapi hal tersebut akhirnya Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11) mengangkat seorang pemimpin baru yang bernama JORI dan diberi gelar Sutan Khalifah untuk menggantikan Datuk godang tersebut. JORI gelar Sutan Khalifah ini memerintah Luhak Logas sampai tahun 1945, dan beliau adalah satu-satunya pemimpin Luhak Logas yang bergelar Sutan Khalifah, dan setelah Indonesia merdeka beliau juga diangkat sebagai kepala desa pertama di Luhak Logas yang kemudian berganti menjadi Negeri (Nagari) atau Desa Logas. Seiring perjalanan waktu, dan atas pesetujuan bersama kemudian gelar Datuk Godang kembali di lekatkan kepada cucu kemenakannya dan untuk selanjutnya Datuk Godang tersebut kembali menjadi Orang Godang duo sakoto di desa Logas – Rantau Singingi.