BAB X
SEJARAH MUARALEMBU
Sebelum bernama Muaralembu, wilayah ini memiliki beberapa
nama yaitu berawal dari nama Koto Tuo
kemudian berganti menjadi Koto Muaro
Simpang kemudian berganti lagi menjadi Koto Ronah Tanjung Bungo (Sebagai Ibu kota / Tanah Kojan / Tanah Kerajaan).
Berawal pada sekitar tahun 1454 M, yaitu semenjak kedatangan
rombongan AWALUDIN Datuk Batuah
yang berasal dari
Minangkabau ke Rantau
Singingi dengan menempuh jalur menyelusuri sungai Kuantan untuk selanjutnya ke Bukit Padang
Terbakar kemudian turun ke Singingi dan bertemu dengan sebuah sungai yang pada
saat itu belum memiliki nama (sekarang dinamai sungai Lembu Keruh dan sungai
Gelawan) dan terus menyelusurinya kearah hilir hingga kemuaranya dan disitu
mereka menemukan sungai yang lebih besar kemudian mereka singgah untuk
beristirahat. Melihat daerah tersebut memiliki dataran yang luas, tanahnya
subur dan baik untuk dijadikan perkampungan, maka mereka bersepakat untuk
menjadikan tempat tesebut sebagai tempat permukiman atau tempat tinggal, dan
kemudian perkampungan ini dinamakan dengan “KOTO
TUO”.
Kemudian sekitar tahun 1510 M,
datang pula rombongan DATUAK MHD. ALI
gelar Datuk Jalo Sutan dari Malaya (Malaysia) dan mereka ini juga merupakan keturunan dari Minangkabau,
rombongannya ini masuk ke Rantau Singingi melalui jalur sungai dari muara
sungai Kampar dan kemudian masuk ke sungai Singingi. Singkat
cerita akhirnya DATUAK MHD. ALI
gelar Datuk Jalo Sutan dan
rombongannya kembali menjelajahi sungai Singingi sebelah kiri arah
kehulu dan akhirnya sampailah mereka ke Koto Tuo dan bertemu dengan AWALUDIN
Datuk Batuah. Dalam percakapan dipertemuan itu AWALUDIN Datuk Batuah bertanya
kepada itu MHD. ALI Datuk Jalo Suto tentang apa maksud dan kedatangannya ke Koto
Tuo, Kemudian itu MHD. ALI Datuk Jalo Suto pun menjelaskan maksud dan
kedatangannya adalah mencari daerah tempat tinggal untuk permukiman dan tempat
berusaha yang belum dikuasai oleh orang lain. Mendengar penjelasan dari MHD.
ALI Datuk Jalo Suto itu akhirnya AWALUDIN Datuk Batuah pun menyampaikan bahwa
daerah tersebut adalah
merupakan Concang Lotih beliau, Tanah yang berketelengan dan Air yang
berkecucuran ke Sungai Lembu ini adalah wilayah dalam kekuasaannya. Setelah sekian lama
berdebat dan kemudian merekapun bermusyawarah dan akhirnya merekapun bersefakat
untuk bersatu dan bersama-sama menjaga dan melindungai daerah yang telah meraka
kuasai. Kemudian mereka berdua pun berjanji bahwasanya MHD. ALI Datuk Jalo Suto
menganggap dan mengakui AWALUDIN Datuk Batuah sebagai mamaknya (pamannya) dan
begitu juga sebaliknya AWALUDIN Datuk Batuah menganggap dan mengakui MHD. ALI
Datuk Jalo Suto sebagai kemenakannya. Dan dengan adanya persatuan ini akhirnya
MHD. ALI Datuk Jalo Suto pun tinggal dan
menetap di Koto Tuo.
Setelah bersatunya AWALUDIN Datuk
Batuah dan MHD. ALI Datuk Jalo Suto, tentu membuat Koto Tuo semakin ramai dan
sesak, hingga akhirnya bermusyawarahlah dan bermufakatlah mereka untuk
memperluas daerah Koto Tuo ini hingga ke muara sungai Uyan. Dengan diperluasnya
daerah Koto Tuo ini maka merekapun
bersepakat untuk mengganti nama daerah tersebut dari “Koto Tuo” menjadi “KOTO MUARO SIMPANG” yang berarti
Sungai Duo Basimpang.
Dan sekitar tahun 1522 M, setelah
mendapat restu dan izin dari Raja Pagaruyung untuk memisahkan diri secara
teritorial dan pemerintahan dari kekuasaan Raja Gunung Sahilan, kemudian
sealanjutnya Datuak Nan Sembilan mengadakan pertemuan dan perundingan untuk
segera membentuk Pemerintahan Adat di Rantau Singingi. Dan untuk memudahkan
kedepannya melakukan perundingan-perundingan serta diperlukannya ibukota
pemerintahan adat, maka sangat diperlukan suatu lokasi atau tempat yang mudah
dijangkau, akhirnya SYAFI’I Datuk Bandaro ke – 3 dan MHD. ALI Datuk Jalo Sutan
pun mencari yang tepat untuk maksud tersebut diatas. Dan akhirnya mereka
sepakat lokasi atau tempat tersebut adalah diseberang Koto
Muaro Simpang didalam wilayah Datuk Bandaro yang kemudian diberi nama “KOTO
RONAH TANJUNG BUNGO”.
Bermula di “KOTO RONAH TANJUNG BUNGO” inilah Datuk Nan Sembilan mulai menyusun
Pemerintahan Adat Rantau Singingi.
Setelah terbentuknya Koto Ronah Tanjung Bungo yang dijadikan pusat
pemerintahan, selanjutnya mereka menyusun koto-koto dari muara sampai ke hulu
sungai Singingi, baik yang sudah ditempati maupun yang akan ditempati. Dan
koto-koto itu adalah :
1.
Koto Ronah Tanjung Bungo (Sebagai Ibu kota / Tanah Kojan
/ Tanah Kerajaan)
(sekarang Kelurahan Muaralembu),
2.
Kepalo Koto (sekarang desa Pulau Padang),
3.
Iku Koto (Ekor Koto) (Sekarang
desa Kebun Lado),
4.
Kunci Loyang Pasak Malintang (sekarang desa Petai),
5.
Balai Paranginan (sekarang desa Koto Baru),
6.
Pinggan Ome (sekarang desa Sungai Paku),
7.
Lantak Tunggal Bomban Bosi, (sekarang
desa Tanjung Pauh).
8.
Pucuk Rantau, (sekarang desa Pangkalan Indarung).
Setelah tersusunnya koto-koto di Rantau Singingi ini dan berpisahnya
teritorial dan pemerintahan Rantau Singingi dari Kerajaan Gunung Sahilan,
disaat itulah kemudian lahir istilah “SUBAYANG
BAGULUNG HILIR BARAJO KA GUNUNG SAHILAN, SINGINGI BAGULUNG MUDIAK BAMAMAK
KATANAH KOJAN (TANAH KERAJAAN), BERAJA KE PAGARUYUNG”. Dan kemudian
mulailah sebagian masyarakat yang tinggal dikoto-koto lama yang sudah ada pindah
dan tinggal menetap dikoto-koto yang baru terbentuk tersebut.
Kemudian selanjutnya mereka menyusun pimpinan pemerintahan serta merumuskan
tugas dan fungsinya masing-masing. Karena di Rantau Singingi ini ada dua suku utama yaitu PILIANG NAN LIMO dan
MELAYU NAN OMPEK, maka ditunjuklah masing-masing satu orang sebagai PUCUK PIMPINAN dari kedua suku tersebut.
Setelah terbentuk dan
tersusunnya pemerintahan adat Rantau Singingi yaitu pemerintahan adat yang
bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah dibawah kekuasaan Raja
Pagaruyung, dan demi meningkatakan pelaksanaan pemerintahan yang baik karena
luasnya daerah kekuasaan yang dikuasai oleh Raja Pagaruyung, dan seperti kata
pepatah “Rantau jauah nan tidak tajalang, daerah dokek nan indak takanono”, siring
perjalan waktu, maka pada tahun 1605 M
Raja Pagaruyung menyerahkan kekuasaan pemerintahan adat Rantau Singingi kepada
Datuk Nan Baduo, dimana :
1.
“WAKIL
PUTUS” diberikan kepada DATUK BANDARO (yang pada masa itu dijabat oleh SYAFI'I Datuk Bandaro
3) sebagai “RAJA ADAT DAN RAJA DIDARAT”, dan sebagai PUCUK PIMPINAN Pemerintahan Adat Rantau
Singingi dan kepadanya juga diberikan gelar DATUK KHALIFAH dan merangkap
sebagai ORANG GODANG yang berwenang memimpin dibidang Adat dan Pemerintahan
serta memimpin dan menguasai semua yang ada didarat.
2.
“AMANAH
SUDAH” diberikan kepada DATUK JALO SUTAN sebagai “RAJA IBADAT DAN
RAJA DIRANTAU” dan juga sebagai ORANG GODANG yang berwenang memimpin dibidang Ibadat serta memimpin dan
menguasai semua yang ada disungai dan dirantau.
Beriringan dengan pelaksanaan penyerahan
kekuasaan pemerintahan adat Rantau Singingi dari Raja Pagaruyung kepada Datuk Nan
Baduo, kemudian selanjutnya Datuk Nan Baduo, Datuk Nan Batujuh dan juga Orang
Godang Duo Sakoto yang ada di Rantau Singingi bersefakat untuk melakukan
penggantian nama Koto Ronah Tanjung Bungo (Tanah Kojan / Tanah Kerajaan) menjadi “MUARALEMBU” dan juga terhadap koto-koto yang ada di Rantau
Singingi yaitu :
1. Kapalo Koto berganti
nama menjadi Pulau Padang,
2. Iku Koto berganti
nama menjadi Kebun Lado,
3. Koto Kunci Loyang Pasak Malintang berganti nama menjadi Petai,
4. Koto Balai Paranginan berganti nama menjadi Koto Baru,
5. Koto Pinggan Ome berganti nama menjadi Sungai Paku,
6. Koto Lantak Tunggal Bomban Bosi /
Sungai nopan berganti
nama menjadi Tanjung
Pauh,
7. Koto Pucuak Rantau / Pulau Potai berganti
nama menjadi Pangkalan Indarung.
No comments:
Post a Comment